REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penanganan kasus penembakan mati terhadap enam laskar Front Pembela Islam (FPI) belum tuntas. Namun, isunya sudah mulai jarang terdengar. Bahkan, suara untuk kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) itu sunyi senyap dalam rapat kerja antara Komisi III DPR dengan Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pada Rabu (16/6), siang.
Padahal, Komisi itu begitu menggebu dalam rapat yang sama sebelumnya. "Komisi III meminta agar perkembangan proses hukum terhadap tiga anggota Polri yang diduga melakukan unlawful killing (pembunuhan di luar proses hukum) bisa disampaikan secara berkelanjutan," kata anggota Komisi III, Arsul Sani pada Kamis (8/3), lalu. Sejumlah anggota komisi yang lainnya juga ikut memberi komentar saat itu.
Kemarin, tidak ada lagi suara nyaring seperti itu. Kasus pembunuhan warga sipil itu tersamar dalam kasus-kasus lain yang juga dianggap menarik perhatian publik. Adalah Ketua Komisi III DPR, Herman Herry, yang meminta Kapolri Listyo mempercepat penuntasan kasus-kasus yang menarik perhatian publik.
"Termasuk menindak tegas aksi premanisme, pungli, narkoba, mafia tanah, pelanggaran HAM, dan aksi kejahatan lain," kata Herman membacakan kesimpulan raker tersebut. Kesimpulan lainnya, kata dia, komisinya mengapresiasi kinerja Polri.
Enam anggota FPI pengawal pimpinan mereka, Habib Rizieq Shihab (HRS), ditembak mati oleh polisi di KM 50 Tol Japek pada 7 Desember 2020. Komisi Nasional (Komnas) HAM menyimpulkan adanya pelanggaran HAM terhadap empat dari enam korban dan merekomendasikan kasus itu diusut tuntas hingga ke pengadilan.
Setelah lama didesak publik, Bareskim Polri kemudian menetapkan tiga anggota Polda Metro Jaya sebagai tersangka, yaitu F, Y, dan EPZ. Namun, berkas tersangka EPZ dihentikan karena diklaim telah meninggal dunia. Pada Senin (26/4), Bareskrim menyerahkan berkas kedua tersangka ke Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Kedua tersangka dikenakan Pasal 338 KUHP juncto Pasal 56 KUHP. Pasal itu berbeda dengan yang dikenakan pada awal penetapan tersangka, yaitu Pasal 338 junto Pasal 351 ayat 3 KUHP tentang pembunuhan dan penganiayaan yang menyebabkan kematian. Pasal 351 ayat 3 KUHP diganti degan Pasal 56 KUHP yang mengatur tentang pemberian bantuan hukum terhadap tersangka.
Namun, pada Jumat (30/4), JPU mengembalikan berkas tersebut ke Bareskrim karena dinilai tidak lengkap. JPU telah memberikan petunjuk dan waktu untuk melengkapi selama tujuh hari kerja. Sepanjang Mei, Bareskrim beberapa kali mengaku akan segera mengembalikan berkas perkara tersebut.
"Iya, berkas perkaranya akan dikirim kembali ke Kejaksaan," kata Dirtipidum Bareskrim Polri Brigjen Andi Rian Djajadi, Senin (31/5).
Dalam raker kemarin, Kapolri Listyo menjawab permintaan Komisi III, seumum permintaan para anggota dewan. Menurut Listyo, kasus KM 50 termasuk dalam tujuh perkara yang menarik perhatian publik. Dari penjelasan Listyo, terungkap berkas perkara itu belum dikembalikan ke JPU.
"Ada petunjuk P-19 dari kejaksaan, sudah kami lengkapi dan mudah-mudahan pekan ini segara kami kirim kembali ke kejaksaan," ujar Listyo. Setelah itu, ia menjelaskan perkembangan perkara lainnya.
Pengacara dan Direktur Riset LBH Street Lawyer Habib Ali Alatas mendesak Polri serius dalam penuntasan kasus unlawful killing agar dapat menghentikan cycle of violence yang kerap dilakukan oknum kepolisian. Lamanya proses hukum kasus itu akan membuat masyarakat semakin curiga.
"Apalagi dilakukan dengan tidak transparan, akan membuat semakin banyak anggapan-anggapan masyarakat yang menilai Polri tidak serius dalam penuntasan kasus unlawful killing," kata dia, kemarin.