REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Mantan presiden Iran, Mahmoud Ahmadinejad, mengatakan dia tidak mendukung kandidat manapun dalam pemilihan umum. Menurutnya, keputusan untuk menggelar pemilihan umum adalah suatu kesalahan yang mengabaikan kehendak rakyat.
Dalam sebuah pesan video, Ahmadinejad menyatakan sikap pesimis terhadap pemilihan presiden yang digelar pada Jumat (18/6). Diselenggarakannya pemilihan umum menunjukkan bahwa Dewan Pengawal Konstitusi menolak beberapa tokoh yang mencalonkan diri sebagai presiden termasuk dirinya, tanpa memberikan alasan.
"Ini mengabaikan kehendak rakyat dan merugikan negara, revolusi Islam, dan ketertiban," ujar Ahmadinejad dilansir Anadolu Agency, Sabtu (19/6).
"Saya tidak mencalonkan diri dalam pemilihan dan saya tidak punya rencana untuk mendukung siapa pun,” kata Ahmadinejad yang menjabat sebagai presiden dari 2005 hingga 2013.
Pemilihan presiden Iran telah dimulai pada Jumat (18/6). Ebrahim Raisi (60 tahun) dari kelompok garis keras sejak awal diprediksi berpeluang untuk menggantikan posisi Presiden Hassan Rouhani.
Menurut konstitusi, Rouhani dilarang mencalonkan diri karena telah menjabat sebagai presiden selama tiga periode atau 12 tahun. Kemenangan Raisi berpotensi mematikan kultur politik pragmatis seperti yang dilakukan Rouhani.
Dia menghadapi banyak pekerjaan utama, seperti upaya untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir tahun 2015 dengan kekuatan Barat serta mengatasi tingginya kemiskinan akibat sanksi Amerika Serikat (AS). Para pejabat Iran serta ulama Syiah sadar nasib politik mereka bergantung pada penanganan ekonomi yang terus memburuk.
“Tantangan utama Raisi adalah ekonomi. Ledakan protes tidak akan terhindarkan jika dia gagal menyembuhkan penderitaan ekonomi bangsa,” kata seorang pejabat pemerintah dilansir South China Morning Post.
Raisi mendapatkan dukungan penting dari Garda Revolusi Iran, yang menentang inisiatif reformis, mengawasi penindasan protes, dan menggunakan kekuatan proksi untuk menegaskan pengaruh Iran di regional. Raisi mendukung pembicaraan Iran dengan enam kekuatan Barat untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir.
"Hanya pemerintahan yang kuat yang dapat menerapkan kebangkitan pakta (nuklir) tersebut," ujar Raisi.