Ahad 27 Jun 2021 05:28 WIB

Pelonggaran Perbatasan Tingkatkan Penyebaran Varian Delta

Kini berbagai negara kembali mengeluarkan membatasan wilayah.

Rep: Puti Almas/ Red: Dwi Murdaningsih
Petugas memeriksa suhu tubuh seorang anak sebelum memasuki kawasan perbelanjaan di Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (24/6/2021). Sejumlah lembaga penelitian bidang kesehatan memperingatkan kerentanan anak terinfeksi COVID-19 yang saat ini berasio 1 : 9 kasus akan meningkat setelah ditemukannya varian baru B16.17 atau Varian Delta.
Foto: ANTARA/Basri Marzuki
Petugas memeriksa suhu tubuh seorang anak sebelum memasuki kawasan perbelanjaan di Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (24/6/2021). Sejumlah lembaga penelitian bidang kesehatan memperingatkan kerentanan anak terinfeksi COVID-19 yang saat ini berasio 1 : 9 kasus akan meningkat setelah ditemukannya varian baru B16.17 atau Varian Delta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Varian delta membawa tantangan bagi penanganan pandemi covid-19. Varian delta atau strain B.1.1.7 yang pertama kali ditemukan di India pada Februari lalu diketahui 40 persen lebih mudah menularkan infeksi dan menyebabkan potensi lonjakan kasus COVID-19 dengan cepat. 

Varian ini kemudian bermutasi dengan memunculkan varian baru yang dinamakan sebagai Delta plus. Para ahli telah memperingatkan bahwa varian tersebut bisa menyebabkan lonjakan kasus di negara-negara dengan tingkat vaksinasi yang tinggi. Kampanye imunisasi hanya berpacu dengan waktu untuk menahan penyebarannya. 

Baca Juga

Kekhawatiran yang berkembang dari varian Delta mendorong pembatasan baru di negara-negara yang sebelumnya berhasil mengendalikan epidemi mereka. Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan secara global saat ini ada banyak kekhawatiran tentang varian delta.

“Delta adalah yang paling menular dari varian yang diidentifikasi sejauh ini, telah diidentifikasi di setidaknya 85 negara dan menyebar dengan cepat di antara populasi yang tidak divaksinasi,” ujar Ghebreyesus dilansir Japan Times, Sabtu (26/6).

Ghebreyesus mengatakan saat sejumlah negara melonggarkan aturan pembatasan, peningkatan penularan di seluruh dunia. Kasus COVID-19 varian Delta sejauh ini dilaporkan meningkat di Rusia, Australia, Israel, dan di beberapa wilayah Afrika. 

Samuel Alizon, seorang ahli biologi yang berspesialisasi dalam pemodelan penyakit menular mengatakan bahwa varian Delta tampaknya melewati kekebalan yang mungkin diberikan oleh infeksi sebelumnya. Ia mengatakan saat ini manusia tidak bisa lagi mengandalkan kekebalan alami.

Dengan sejumlah besar individu yang belum divaksinasi, tindakan pembatasan mungkin harus diterapkan kembali untuk menghentikan penyebaran virus corona jenis baru. Di Eropa, pihak berwenang memperingatkan bahwa setiap pelonggaran aturan selama pandemi akan berisiko lonjakan kasus baru di seluruh kelompok umur.

 

Beberapa negara, seperti Israel dan Australia, telah mengumumkan kembalinya pembatasan tertentu.

Ilmuwan penyakit menular terkemuka Amerika Serikat (AS) Anthony Fauci menyebut varian itu sebagai ancaman terbesar untuk upaya mengendalikan virus dan mendesak percepatan vaksinasi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa vaksin dapat efektif terhadap varian ini setelah dosis kedua diberikan. 

Data terbaru dari Pemerintah Inggris menunjukkan bahwa vaksinasi lengkap dapat menawarkan sekitar 96 persen perlindungan terhadap varian Delta dengan gejala parah dan 79 persen perlindungan terhadap infeksi simtomatik (tanpa gejala). 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement