REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Setara Institute menyatakan, Polri di bawah kepemimpinan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menghadapai tantangan yang semakin kompleks, khususnya bekerja di tengah pandemi Covid-19. Menjabat sejak Januari 2021, visi Listyo menjadikan Polri "Presisi" atau prediktif, responsibilitas dan transparansi berkeadilan belum dapat menunjukkan perubahan berarti di tubuh Korps Bhayangkara.
Direktur Eksekutif Setara Institute, Ismail Hasani menilai perlindungan HAM belum memperoleh perhatian dan menjadi prioritas Polri di bawah kepemimpinan Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
"Beberapa peristiwa justru menunjukkan kontradiksi dengan konsepsi pemolisian demokratik," kata Ismail dalam keterangannya, Kamis (1/7).
Ismail mencontohkan kultur kekerasan yang masih tumbuh subur di internal Polri. Ditekankan, kultur tersebut secara nyata mencerminkan tidak dipahaminya ‘responsibilitas’ dalam konsep Polri Presisi.
Beberapa peristiwa menunjukkan peragaan kekerasan seperti dalam penanganan demonstrasi #ReformasiDikorupsi tahun 2019 dan demonstrasi penolakan UU Cipta Kerja pada 2020 lalu. Bentuk tindakan kekerasan Polri dapat berupa penganiayaan, pengeroyokan, pemukulan, intimidasi penghapusan video kekerasan aparat dan lain-lain.
"Selain itu, tercatat juga adanya pembatasan akses informasi, hingga tindakan penghalang-halangan akses bantuan hukum bagi demonstran yang ditangkap," katanya.
Tindak kekerasan aparat selalu menjadi kritik berbagai organisasi masyarakat dari tahun ke tahun, termasuk oleh Komnas HAM. Bahkan, kata Ismail, pada aksi #ReformasiDikorupsi pada 24-30 September 2019, Komnas HAM mencatat ada dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Polri.
"Dalam catatan Komnas HAM pun, Polri menjadi lembaga yang paling banyak diadukan kepada Komnas HAM sepanjang 2020, di antaranya terkait lambannya penanganan kasus, dugaan kriminalisasi, proses hukum tidak sesuai prosedur, dan dugaan kekerasan," paparnya.
Dikatakan, kultur kekerasan juga terlihat dalam peristiwa yang terjadi di ruang tahanan Polri. Kasus Herman, salah seorang tahanan yang tewas di sel Mapolresta Balikpapan pada Desember 2020 menjadi cerminan puncak gunung es peristiwa serupa.
Dalam kasus Herman, Polri telah menetapkan enam anggotanya sebagai tersangka. Kekerasan dan dugaan praktik penyiksaan terjadi karena model penyelidikan, interogasi yang dilakukan anggota Polri untuk memperoleh pengakuan dan informasi dengan cara kekerasan seharusnya menjadi masa lalu, karena bertentangan dengan pemolisian demokratik.
Praktik kekerasan juga dialami oleh Luthfi (20), pemuda pembawa bendera yang viral saat demo di DPR memberikan kesaksian di hadapan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (20/1/2020). Luthfi mengaku dianiaya oleh penyidik kepolisian saat dimintai keterangan di Polres Jakarta Barat, yang bertujuan memperoleh pengakuan bahwa dirinya telah melempar batu kepada aparat kepolisian yang saat itu tengah mengamankan aksi di depan Gedung DPR/MPR.
"Dalih kepolisian bahwa si korban dianiaya oleh tahanan lain, bukanlah pembenaran yang bisa diterima, tetapi justru menunjukkan kompleksitas praktik penyiksaan ini, mulai dari dugaan dilakukan pihak kepolisian, tahanan lain, kelalaian kepolisian dalam menjaga para tahanan, hingga ketidakmampuan kepolisian dalam menjamin rasa aman, penegakan hukum, dan HAM setiap tahanan," katanya.
Selain kekerasan dan dugaan praktik penyiksaan, Setara Institute juga menyoroti isu penggunaan senjata api oleh aparat kepolisian. Dikatakan Ismail, penggunaan senjata api sering dinilai bukan lagi berorientasi untuk melumpuhkan target tetapi mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang atau beberapa orang warga negara.
Polri sendiri sebenarnya telah memiliki Peraturan Kepolisian No. 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, yang mengatur tahapan dan orientasi penggunaan senjata api, sebagai bagian dari standar yang harus dipatuhi oleh anggota Polri.
Namun, dalam sejumlah kasus, seperti peristiwa penembakan enam anggota Laskar Pembela Islam (FPI) pada 7 Desember 2020, penembakan terhadap seorang berinisial ZA (25) yang melakukan penyerangan di Mabes Polri pada 31 Maret lalu, serta penembakan terhadap seorang DPO kasus judi di Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat, menunjukkan bahwa kepatuhan pada Perkap No.1/2009 tersebut masih belum sepenuhnya diinternalisasi dan dipedomani.
Ismail menilai, dalam kasus-kasus penembakan yang mematikan, semestinya Polri menerbitkan white paper sebagai bagian dari akuntabilitas penggunaan senjata api, yang menjelaskan kepada publik tentang peristiwa-peristiwa tersebut dan level keberbahayaannya, sehingga tidak menimbulkan kontroversi.
"White paper itulah yang akan menjadi ruang pembelaan Polri untuk mempertanggungjawabkan tindakannya, termasuk memberikan pengakuan jujur tentang potensi unprocedural conduct dan pelanggaran, sehingga valid memberikan sanksi kepada anggota, termasuk memberikan sanksi yang serius," katanya.
Dalam kesempatan ini, Ismail juga membeberkan tantangan lain yang harus dijawab Polri. Salah satunya, memastikan memastikan proses hukum dan penegakan hukum secara adil dan presisi. Menurutnya, penundaan proses hukum dalam beberapa kasus, telah menimbulkan ketertundaan orang-orang yang berurusan dengan hukum memperoleh keadilan.
Padahal justice delayed is justice denied seharusnya dipedomani oleh Polri. "Menunda proses diperolehnya keadilan adalah sama saja menyangkal keadilan itu sendiri. Perbaikan tata kelola di reserse Polri adalah kebutuhan mendesak untuk Polri yang presisi," katanya.
Lebih jauh, Ismail menilai selama enam bulan menjabat, Listyo telah melakukan sejumlah inisiatif dan kebijakan baru seperti mainstreaming restorative justice dalam penyelesaian jenis perkara pidana tertentu, pengetatan pedoman penggunaan UU ITE untuk menghindari over-kriminalisasi penyampaian pendapat dan ekspresi dan penanganan intoleransi dan radikalisme secara akuntabel adalah modal untuk terus memperbaiki kinerja Polri.
Ia menekankan, penting bagi Polri untuk membuktikan bahwa penegakan hukum sepenuhnya ditujukan untuk mencetak keadilan bagi rakyat bukan untuk mencetak prestasi di mata kekuasaan, sebagaimana selama ini sering dituduhkan.
"Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo masih mempunyai cukup waktu untuk menunaikan dan mewujudkan janji yang tertuang dalam visi ‘Polri Presisi’ dengan terus bekerja presisi berdasarkan aspirasi masyarakat demokratik," katanya.