REPUBLIKA.CO.ID, — Meningkatnya angka positif Covid-19 memunculkan peluang bisnis bagi sebagian kalangan, yaitu bisnis pemeriksaaan Covid-19 baik dengan rapid test, swab antigen, atau PCR. Bagaimana hukumnya?
Menyediakan jasa tes Covid-19 ini diperbolehkan saat penyediaan jasa tersebut sesuai aturan dan tarif (harga) rapid test itu lazim (tidak berlebihan) dan disepakati kedua belah pihak.
Itu karena harga merujuk pada kesepakatan dan menyediakan jasa rapid test ini juga tidak termasuk rekayasa dalam supply (ihtikar), serta karena rapid test (yang menjadi objek transaksi) bagian dari fasilitas untuk memitigasi diri agar terhindar dari virus dan penyakit lainnya. Kesimpulan ini berdasarkan penjelasan berikut.
Pertama, selama pemberian fasilitas tersebut sesuai aturan dan selama harga yang diberikan kepada setiap pasien itu sudah sesuai dengan kesepakatan juga dengan harga yang normal, maka transaksi itu diperkenankan, baik dalam kondisi pandemi atau bukan pandemi, baik barang-barang yang diperjualbelikan itu kebutuhan primer atau kebutuhan sekunder.
Kaidah tersebut juga berlaku dalam setiap transaksi saat pandemi yang terjadi seperti biaya pendidikan, biaya transportasi, dan lainnya. Hal itu sebagaimana hadits Rasulullah SAW:
المسلمون عند شروطهم إلا شرطًا حَرَّمَ حلالًا أو شرطًا أَحَلَّ حرامًا "Dan kaum Muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram." (HR Tirmidzi).
Disimpulkan bahwa tidak ada batasan maksimum untuk harga atau fee, sebagaimana kesimpulan ahli fikih bahwa tidak ada satu pun nash yang sahih dan sharih (jelas) yang membatasi harga atau tarif barang atau jasa yang diperjualbelikan. Namun, hal itu merujuk kepada kesepakatan dan kelaziman.
Penjual jasa untuk memberikan harga kepada pembeli sesuai dengan harga pasaran (tsamanul mitsl) adalah bagian dari adab. Ini sebagaimana adab-adab dalam bermuamalah, di antaranya sesuai dengan tuntunan hadis Rasulullah SAW:
رحم الله عبدا سمحا إذا باع، سمحا إذا اشترى، سمحا إذا قضى، سمحا إذا اقتضى "Allah memberikan rahmat kepada hamba yang toleran jika menjual, toleran jika membeli, dan toleran jika melakukan tuntutan." (HR Bukhari, Ibnu Majah, dan Tirmidzi).
Begitu pula patuh terhadap aturan yang berlaku agar transaksi ini pada tempatnya dan pada ruang lingkupnya. Kedua, bisnis jasa rapid test itu diperbolehkan karena (a) dari sisi transaksi fasilitas rapid test tersebut itu halal dan memenuhi kriteria barang atau jasa halal yang diperjualbelikan (mubah wa mutaqawwam).
Bahkan, dengan menyediakan jasa rapid test, itu telah membantu dan memberikan solusi bagi mereka yang ingin memastikan kondisi kesehatannya bebas dari virus Covid-19. Ini juga memitigasi penularan terhadap keluarga dan masyarakat umum serta untuk memenuhi persyaratan instansi atau perusahaan.
Maka, selama tujuannya baik, sarana yang digunakan juga baik. Hal ini sebagaimana kaidah ushul, "Sarana-sarana itu memiliki hukum yang sama dengan tujuannya." Jika hasil rapid testnya digunakan untuk kepentingan yang baik maka dengan menyediakan fasilitas rapid test juga termasuk dalam kebaikan.
(b) Dalam Islam memastikan kondisi fisik sehat, termasuk ikhtiar dengan rapid test itu bagian dari tuntunan keimanan. Ini karena Allah SWT tidak hanya memerintahkan untuk menjaga kesehatan, tetapi juga memerintahkan untuk memitigasi dan merawatnya. Rapid test ini bagian dari tolong-menolong dalam kebaikan. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT:
وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ "Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa ...."(QS Al Maidah 2).
(c) Selama tarif (harga) rapid test itu lazim, tidak berlebih-lebihan, tidak ada rekayasa dalam harga, maka berlaku kaidah umum dalam bab muamalah, "Pada dasarnya, segala bentuk muamalat itu boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya."
*Artikel ini dikurasi dari naskah konsultasi syariah Dr Oni Syahroni, anggota Dewan Syariah Nasional, terbit di Harian Republika.