Selasa 20 Jul 2021 15:41 WIB

Pandemi dan Makna Berkurban Dari Rumah

Berkurban di masa pandemi Adalah Tindakan yang aangaat Julia

Warga menyaksikan pemotongan hewan kurban di Masjid Darul Falaah, Jakarta, Selasa (20/7/2021). Masjid tersebut memotong sebanyak 11 ekor sapi dan 16 ekor kambing yang akan dibagian kepada masyarakat di wilayah Petukangan Utara.
Foto: Antara/Rivan Awal Lingga
Warga menyaksikan pemotongan hewan kurban di Masjid Darul Falaah, Jakarta, Selasa (20/7/2021). Masjid tersebut memotong sebanyak 11 ekor sapi dan 16 ekor kambing yang akan dibagian kepada masyarakat di wilayah Petukangan Utara.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Faozan Amar, Dosen Ekonomi Islam FEB UHAMKA dan Sekretaris LDK PP Muhammadiyah

Dua peristiwa penting yang menyertai perayaan Idul Adha adalah Ibadah Haji dan Kurban. Haji merupakan rukun Islam kelima yang wajib dilaksanakan bagi orang yang mampu (istatha’ah). Allah berfirman " ...padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim, barang siapa memasukinya (baitullah itu) menjadi amanlah dia. Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam" (QS. Ali Imran: 97).

Para ahli fikih memaknai kata “istatha’ah” adalah mampu secara fisik ; sehat jasmani dan rohani, mampu secara ilmu ; memahami syarat dan rukun haji dengan baik dan benar, mampu secara biaya ; untuk ongkos menuju dan selama menjalankan ibadah haji, termasuk untuk anggota keluarga yang ditinggalkan, (al-San’aniy, 1960). Dalam kontek sekarang adalah mampu dalam perjalanan ; aman dari penyebaran Covid-19 sehingga selamat dalam menjalankan ibadah haji.

Hal ini sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw : Dari Anas r.a. ia berkata: Rasululullah SAW ditanya; ‘Hai Rasulullah, apakah yang dimaksudkan dengan as-sabil (jalan)?’ Beliau menjawab;‘bekal dan perjalanan’.”  (HR Ad Daruqutni dan dinilai sahih oleh al-Hakim; al-San’ani).

Dengan demikian, ibadah haji merupakan ibadah yang memadukan unsur ruhiyah yakni keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt, jasmaniyah yakni sehat secara fisik, mental, jiwa dan raga dan maliyah yakni kemampuan secara ekonomi  untuk membiayai perjalanan haji beserta dengan biaya yang menyertainya. 

Disamping itu ibadah haji harus dilaksankan di Baitullah, yaitu Kabah dan disekitarnya ada maqam Ibrahim yang berada di kota Suci Mekah al Mukaromah Arab Saudi. Sehingga harus dilaksanakan secara langsung pada tempat dan waktu yang telah ditentukan serta tidak bisa diwakilkan, sesuai dengan tuntunan yang telah ditetapkan.  

Dalam ibadah haji tahun 1442 H sekarang ini, Pemerintah Arab Saudi selaku penyelenggara ibadah haji, hanya mengizinkan sebanyak 60.000 orang jamaah yang berdomisili dari Arab Saudi. Hal ini karena untuk mencegah penyebaran wabah Covid-19 yang belum berakhir. Sehingga, dalam konteks sekarang istatha’ah dimaknai sebagai kemampuan keamanan dari penularan Covid-19 dalam beribadah haji. 

Memang umat Islam banyak yang kecewa karena tidak bisa berangkat haji tahun ini, namun menjaga keselamatan jiwa (hifdzun nafs) merupakan hal yang utama dalam Islam. Sehingga, mencegah kemudharatan harus didahulukan dari pada mengambil manfaat. Hal inipun dimaklumi oleh para calon jamaah haji yang tidak bisa berangkat tahun ini. Dampaknya, tentu saja memperpanjang waiting list bagai calon jamaah yang akan berhaji.

Berbeda dengan ibadah haji, ibadah kurban yang juga dilaksanakan pada bulan Dzulhijjah dapat dilaksanakan dimanapun tanpa ditentukan tempatnya, dapat dilaksanakan oleh siapapun bagi setiap muslim yang mampu tanpa harus melaksanakan haji dan pemotongan hewan kurban dapat dilakukan selama hari Tasyrik, yakni 11, 12, dan 13 Dzulhijjah tanpa harus pas di hari Idul Adha.   

Allah berfirman : Sungguh, Kami telah memberimu (Muhammad) nikmat yang banyak. Maka laksanakanlah salat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah). Sungguh, orang-orang yang membencimu dialah yang terputus (dari rahmat Allah) [Q.S. al-Kautsar: 1-3]. 

Setidaknya ada dua pelajaran yang dapat kita petik dari ibadah Kurban, yakni pertama mengajarkan kita untuk senantiasa bersyukur atas segala nikmat yang telah diberikan Allah Swt. Dengan bersyukur itu Allah menjanjikan akan menambahkan nikmatNya kepada setiap manusia. Begitu banyak nikmat dan karunia Allah yang diberikan kepada kita, sampai-sampai kita tidak akan sanggup dan mampu menghitungnya. Bahkan seandainya semua ranting pohon di dunia dijadikan pena dan lautan sebagai tintanya maka sungguh nikmat Allah tak akan dapat dihitung (QS. an-Nahl : 18) 

Bersyukur dalam arti membenarkan dalam dalam hati atas segala nikmat yang telah Allah berikan, mengucapkan dalam lisan ; Alhamdulillah, dengan memuji Allah sebagai Yang Maha Kuasa dan mengamalkan dalam perbuatan dalam wujud nyata, yakni mengorbankan sebagai harta yang kita miliki untuk berbagi dan peduli pada sesama. 

Kedua, mengajarkan kepada kita untuk menjadi pribadi sosial yang senantiasa berorientasi untuk berbuat baik dan bermanfaat untuk sesama. Bagi sebagian saudara-saudara kita yang kurang mampu, momentum untuk memakan daging kurban, baik daging kambing, kerbau atau sapi, mungkin ada yang harus menunggu setahun sekali saat hari raya Idul Adha.

Karena itu, momentum yang baik ini, kita jadikan sebagai sarana untuk berbagi dengan sesama, terutama dengan saudara-saudara kita yang kurang mampu dan membutuhkan. Hal ini sesuai dengan teladan yang telah diberikan oleh Nabi Muhammad Saw. Ketika datang hari raya Idul Adha, Rasulullah pun menyembelih hewan kurban dan kemudian membagikan sebagian besar dagingnya kepada fakir miskin. 

Namun, karena wabah pandemi Covid-19 masih dialami oleh negara kita, dan juga negara-negara lain di belahan dunia, suasana lebaran Idul Adha dua tahun terakhir ini menjadi terasa berbeda dengan dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya. Maka untuk mencegah penyebaran wabah virus Corona, ibadah kurban dapat dilaksanakan dari rumah.

PP Muhammadiyah dan PBNU bahkan telah mengeluarkan fatwa tentang kebolehan mengkonversi hewan kurban dengan bantuan yang lebih dibutuhkan masyarakat di masa pendemi ini, yakni bisa diganti untuk membeli alat pelindung diri, vitamin, hand sanitizer, dan sebagainya. Hal itu dimaksudkan sebagai bagian dari ikhtiar agar terhindar dari wabah Covid-19.

Jika kita tetap akan berkurban, maka dapat dilakukan dari rumah. Yakni dengan menyerahkan hewan kurban melalui rumah pemotongan hewan (RPH) kemudian dagingnya yang telah dicacah dan dibungkus diantarkan kepada mereka yang membutuhkan. Bisa juga dengan membayar hewan kurban sesuai pilihan melalui Organisasi Pengelola Zakat yang menyelenggarakan pemotongan dan distribusi hewan kurban ke daerah-daerah terpencil yang rawan pangan.

Sehingga, ibadah kurban tetap dapat dilaksanakan tanpa menimbulkan kerumunan yang rawan terjadinya penyebaran Covid-19.  Mari laksanakan ibadah kurban sebagai bentuk rasa syukur dan meneladani Ibrahim serta peduli kepada sesama. Wallahua’alam.

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement