REPUBLIKA.CO.ID, Lantunan ayat suci Al Quran bersahutan dari dalam masjid yang belum rampung dibangun. Barisan santri duduk rapi melingkar membuka lembar demi lembar Quran. Sesekali ustadz pembimbing mengawasi dari belakang. Tak lama kemudian, sejumlah santri lain bergegas masuk turut bergabung.
Itulah sekelumit kisah suatu sore di Pondok Pesantren Nuu Waar Al Fatih Kaffah Nusantara (AFKN), Kampung Bunut, Desa Tamansari, Kecamatan Setu, Kabupaten Bekasi. Pesantren yang berada jauh dari hiruk pikuk perkotaan itu didirikan ustaz Fadlan Garamatan pada tahun 2012. Saat ini Ponpes membina 750 santri yang 80 persennya berasal dari Papua dan telah meluluskan 3700 santri sejak masa berdirinya.
”Nuu waar artinya negeri yang menyimpan cahaya rahasia. Dahulu kata Nuu Waar digunakan masyarakat Papua untuk menyebut pulau terbesar di ujung timur Indonesia itu, sebelum penyematan nama Irian atau Papua”, ungkap ustaz kelahiran Fakfak, Papua Barat itu. Fadlan menjelaskan secara historis jejak penyebaran Islam di bumi cendrawasih dimulai pada abad ke-12 oleh Kerajaan Samudra Pasai, jauh sebelum bangsa Portugis dan Belanda menjejakkan kakinya di Indonesia.
Melanjutkan jejak syiar pendahulunya, ustaz fadlan mendirikan pesantren ini agar generasi penerus dari Indonesia timur yang dibinanya mempunyai ilmu, iman, dan Al Quran dalam jiwanya sebagai bekal untuk membangun kampung halaman mereka di kemudian hari. Selain mengajarkan ilmu agama, pesantren Nuu Waar juga mendidik santri memahami wawasan kebangsaan.
“Ruh akidah Islam ditanamkan, tapi ruh Indonesia juga diberikan,” katanya.