REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Presiden China Xi Jinping dinilai berhasil menetapkan Partai Komunis China (PKC) menjadi pusat kekuatan China. Namun, peneliti melihat dia justru sebagai sosok yang menjadi ancaman besar bagi partainya sendiri.
Xi memang bergerak untuk mengkonsolidasikan kekuatan partai, tetapi dia juga berusaha keras untuk menjamin kekuatannya sendiri. Dia telah memangkas batas dua masa jabatan kepresidenan China.
Padahal, aturan yang diperkenalkan pada 1982 ini untuk mencegah munculnya kediktatoran. Dia pun mengumpulkan lebih banyak gelar daripada pemimpin PKC mana pun dalam beberapa dekade terakhir. Xi bahkan menciptakan ideologi eponimnya sendiri yang ditanamkan dalam konstitusi partai.
Pada 2018, PKC menghapus semua batasan masa jabatan kepresidenan negara itu, dan memungkinkan Xi untuk memerintah seumur hidup jika dia mau. PKC mengatakan langkah itu diperlukan untuk menyelaraskan tiga posisi paling kuat di China, sekretaris jenderal PKC dan ketua Komisi Militer Pusat, juga gelar yang dipegang oleh Xi sehingga tidak tunduk pada batasan masa jabatan.
Para ahli dalam politik elite China memperingatkan bahwa dalam mencoba merevitalisasi PKC, Xi menggabungkan dirinya dengan partai. Kondisi ini menciptakan ancaman lain dengan dirinya sendiri.
Mantan profesor di sekolah pelatihan utama untuk pejabat PKC, Cai Xia, mengatakan dengan memusatkan kekuasaan, Xi telah membunuh partai sebagai sebuah organisasi. Sebanyak 95 juta anggotanya, menurutnya, adalah budak kehendak Xi.
Mendiang ayah Xi, Xi Zhongxun, adalah seorang veteran revolusioner dan pemimpin yang berpikiran liberal. Setelah dianiaya dan dipenjara selama Revolusi Kebudayaan, Xi Zhongxun dipilih sendiri oleh pemimpin tertinggi Deng Xiaoping untuk memerintah provinsi Guangdong dan mengawasi pembentukan Shenzhen sebagai zona ekonomi khusus. Banyak pengamat berharap Xi mengikuti jejak ayahnya.