REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria, yakin Gubernur Anies Baswedan tidak terlibat dalam kasus korupsi pengadaan lahan Sarana Jaya. Hal itu disampaikan Riza menanggapi rencana KPK untuk memeriksa Anies atas perkara tersebut.
"Saya yakin Pak Anies tidak terlibat dengan masalah-masalah seperti itu," kata Riza di Balai Kota Jakarta, Senin (27/7).
Terkait dengan pemeriksaan oleh lembaga antirasuah itu, Riza mengatakan bahwa pihaknya tidak ingin mencampuri apa yang menjadi kewenangan KPK. Riza meyakini KPK bisa berjalan sesuai dengan kewenangan yang adil dan bijak.
"KPK saya kira sudah mengerti SOP, saya enggak ingin mencampuri urusan KPK. Saya yakin KPK pasti bertindak dan memutuskan sesuai kewenangan dengan cara yang adil dan bijak," ujar Riza.
Sebelumnya, KPK dikabarkan segera memanggil Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi pengadaan lahan di Munjul, Cipayung, Jakarta Timur. Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan bahwa pemanggilan terhadap Anies dalam waktu tak lebih dari dua pekan ke depan.
Jenderal polisi bintang tiga itu mengatakan, saat ini pihaknya masih melakukan pemeriksaan terhadap Direktur PT Aldira Berkah Abadi Makmur, Rudy Hartono Iskandar yang telah ditetapkan sebagai tersangka. Pemeriksaan juga masih dilakukan kepada sejumlah pihak lain.
Firli memastikan tak akan tebang pilih dalam mengusut setiap kasus korupsi.Setiap penanganan kasus, kata dia, hanya akan mengacu pada bukti yang terkumpul, termasuk dalam kasus dugaan korupsi lahan di DKI Jakarta. Sebelumnya, Firli mengatakan bahwaAnies memahami penyusunan APBD DKI.
Oleh sebab itu, penyidik KPK tidak menutup kemungkinan memanggil Anies untuk meminta keterangan mengenai dugaan kasus korupsi tersebut.Dalam kasus tersebut, KPK telah menetapkan lima tersangka. Selain Rudy, empat tersangka lainnya, yakni mantan Direktur Utama Perumda Pembangunan Sarana Jaya Yoory Corneles Pinontoan; Direktur PT Adonara Propertindo (AP) Tommy Adrian; Wakil Direktur PT AP Anja Runtuwene; dan PT AP sebagai korporasi.
KPK menaksir kerugian negara mencapai Rp152,5 miliar dari kasus tersebut. Lembaga antirasuah menduga uang tersebut untuk kepentingan pribadi, seperti membeli tanah dan kendaraan mewah.