REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Cadangan batu bara Indonesia saat ini mencapai 38,84 miliar ton. Dengan rata-rata produksi batu bara sebesar 600 juta ton per tahun, maka umur cadangan batu bara masih 65 tahun apabila diasumsikan tidak ada temuan cadangan baru.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ridwan Djamaluddin, mengatakan selain cadangan batu bara, masih ada juga sumber daya batu bara yang tercatat sebesar 143,7 miliar ton.
Untuk itu, Pemerintah terus mendorong upaya pemanfaatan untuk memberikan kesejahteraan ke seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
"Batu bara kita masih banyak. Kita punya 65 tahun umur cadangan. Sebagian besar ada di Kalimantan dan Sumatra," kata Ridwan.
Ridwan menuturkan, Kalimantan menyimpan 62,1 persen dari total potensi cadangan dan sumber daya batu bara terbesar di Indonesia, yaitu 88,31 miliar ton sumber daya dan cadangan 25,84 miliar ton.
Selanjutnya, wilayah punya potensi tinggi adalah Sumatra dengan 55,08 miliar ton (sumber daya) dan 12,96 miliar ton (cadangan).
"Mau tidak mau masih menjadi andalan Indonesia dalam penyediaan energi dengan harga terjangkau," jelas Ridwan.
Pada 2021 ini, batu bara ditargetkan mencapai produksi sebesar 625 juta ton. Dari jumlah tersebut, kebutuhan batu bara dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) ditargetkan dapat mencapai 137,5 juta ton.
Adapun pada 2020 sendiri, realisasi produksi batu bara Indonesia berada di angka 558 juta ton. Sekitar 134 juta ton dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Berdasarakan data Minerba One Data Indonesia (MODI), per 26 Juli 2021, realisasi produksi batu bara Indonesia sebesar 328,75 juta ton dengan rincian 96,81 juta ton (realisasi domestik), 161,99 juta ton (realisasi ekspor), dan 52,22 juta ton untuk DMO. "Saat ini 80 persen batu bara untuk pembangkit listrik," ungkap Ridwan.
Batu bara sendiri masih menjadi tumpuan bagi kawasan Asia Pasifik dalam penyediaan energi yang terjangkau dan murah. Kawasan memiliki kapasitas batu bara dan pembesar saat ini (76 persen) termasuk rencana pengembangannya (94 persen). "Sebelum pandemi, Asia Pasifik ini hot spotnnya pertumbuhan ekonomi dunia," urai Ridwan.