Jumat 30 Jul 2021 02:42 WIB

Greenpeace Dorong Moratorium Izin Sawit Dibuat Permanen

Upaya penyetopan izin untuk sawit merupakan upaya menjaga hutan yang tersisa.

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Ratna Puspita
Greenpeace Indonesia mendorong pemerintah membuat kebijakan moratorium izin perkebunan sawit menjadi permanen. Sebab, pemerintah mulai mengkaji lagi keberlangsungan aturan ini. (Foto ilustrasi: Asap dari lahan perkebunan kelapa sawit)
Foto: ANTARA/NOVA WAHYUDI
Greenpeace Indonesia mendorong pemerintah membuat kebijakan moratorium izin perkebunan sawit menjadi permanen. Sebab, pemerintah mulai mengkaji lagi keberlangsungan aturan ini. (Foto ilustrasi: Asap dari lahan perkebunan kelapa sawit)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Greenpeace Indonesia mendorong pemerintah membuat kebijakan moratorium izin perkebunan sawit menjadi permanen. Sebab, pemerintah mulai mengkaji lagi keberlangsungan aturan ini. 

Direktur Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak menyebutkan, aturan yang sebelumnya masih berwujud Instruksi Presiden (Inpres) nomor 8 tahun 2018 tersebut juga perlu dinaikkan kekuatan hukumnya menjadi Peraturan Presiden (Perpres). "Sehingga, lebih jelas dan kuat ketetapan hukumnya sekaligus urusan penganggarannya juga lebih jelas dan pasti," ujar Leonard kepada Republika, Kamis (29/7). 

Baca Juga

Selain soal izin sawit, ujar Leonard, masih ada satu aturan lagi yang perlu dinaikkan kekuatan hukumnya, yakni soal moratorium izin kawasan hutan yang tertuang dalam Inpres nomor 5 tahun 2019. Aturan ini memang menyetop perizinan untuk kawasan hutan primer dan gambut, namun dianggap belum terimplementasi maksimal di lapangan. 

Leonard menambahkan, upaya penyetopan izin untuk sawit atau pemanfaatan hutan merupakan upaya untuk menjaga hutan yang tersisa di Indonesia. Menurutnya, kerusakan hutan di Sumatra dan Kalimantan sudah terlanjur parah. 

Usaha terakhir yang bisa dilakukan, ujarnya, adalah menjaga tutupan hutan yang tersisa terutama di Tanah Papua. "Kami kritis untuk program food estate. Kami kira itu program yang keliru karena bagaimana pun kita tidak boleh lagi merambah hutan. Ada strategi lagi yang bisa dilakukan, ada cukup banyak tanah kritis yang bisa digarap," kata Leonard. 

Ia menyebutkan, persoalan lingkungan di Indonesia sudah terlanjur kompleks. Menurutnya, hal ini pula yang ikut menyumbang semakin tingginya frekuensi bencana hidrometeorologi yang terjadi di Indonesia. 

Banjir besar di Kalimantan Selatan awal 2021, banjir di DKI Jakarta awal 2020, dan bencana serupa di daerah lain di Indonesia punya korelasi erat dengan kerusakan lingkungan yang terjadi. "Itu dari sisi kehutanan ya. Kalau dari sisi energi, pemerintah perlu percepat transisi ke energi baru terbarukan. Dominasi batubara harus disetop," katanya. 

Secara umum, Leonard menyimpulkan bahwa ada dua hal yang secara mendesak perlu dilakukan pemerintah dalam memperbaiki tata kelola lingkungan. Pertama, percepatan transisi dari energi fosil ke energi baru terbarukan. Kedua, penghentian secara permanen deforestasi dan memasifkan penghijauan. 

Sebelumnya dalam Rakorbangnas BMKG, Presiden Jokowi sempat menyebutkan bahwa intensitas bencana geohidrometeorologi di Indonesia terus meningkat. Cuaca ekstrem dan siklon tropis pun tercatat mengalami peningkatan frekuensi dan intensitas. 

Jokowi merinci, periode ulang terjadinya El Nino atau La Nina pada 1981-2020 cenderung semakin cepat, yakni sekitar 2-3 tahunan, dibandingkan periode 1950-1980 yang berkisar 5-7 tahunan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement