Senin 02 Aug 2021 05:45 WIB

Mualaf Rahmat, Bersyahadat dan Sukses Belajar di Madinah

Puasa Ramadhan menjadi pintu gerbang Islamnya Rahmat Hidayat

Rep: Ratna Ajeng Tejomukti/ Red: Nashih Nashrullah
Puasa Ramadhan menjadi pintu gerbang Islamnya Rahmat Hidayat. Rahmad Hidayat
Foto:

Itulah pengalaman pertamanya berpuasa Ramadhan. Memasuki tahun berikutnya, ia justru ingin kembali berpuasa. Ibu sahabatnya itu membaca keinginan Rahmat itu sebagai tanda bahwa memang dirinya ingin mendalami Islam.     

Maka, Rahmat pun diperkenalkan dengan dasar-dasar ajaran Islam. Namun, jelas Rahmat, ibu angkatnya tidak pernah memaksa atau sengaja memengaruhinya agar memeluk Islam. Sepenuhnya diserahkan kepada keputusannya sendiri. Apabila benar-benar bertekad kuat untuk mengkaji Islam, maka lebih baik bila menjadi Muslim 

Mulai saat itu, ia berkali-kali ke masjid. Hal itu dilakukannya terutama menjelang kumandang azan. Baginya, suara panggilan sholat itu membuat hatinya tenang. Rahmat pun memeluk Islam. Waktu itu, usianya cukup belia, 13 tahun. Momennya mengucapkan dua kalimat syahadat terjadi beberapa hari sesudah lulus SMP. Prosesi itu dilangsungkan di Masjid Muhammadiyah, Jalan Pasundan, Medan. 

Setelah bersyahadat, ibu angkatnya pun pernah berjanji, akan membantu Rahmat untuk mencari pesantren sehingga ia mendapatkan bimbingan dengan baik. Bagaimanapun, yang masih dipikirkannya adalah pertentangan dari orang tua. Sesuai janji, ibu angkatnya pun mencarikan sebuah pesantren untuknya.     

Ternyata, lembaga itu memiliki syarat, tiap santri mesti lancar membaca Alquran dalam dua bulan. Hal itu sempat membuat Rahmat meragukan kemampuannya.

“Tapi, alhamdulillah, saya bisa membaca Alquran. Waktu itu, ibu angkat saya juga ikut membimbing,” kenangnya. Pertentangan dari keluarga pun mampu ia hadapi. Baginya, iman dan Islam adalah perkara yang utama. Terusir dari rumah dan putus sekolah adalah risiko, tetapi tidak menjadi alasan untuk berpaling dari agama tauhid. 

Saat itu keluarganya mengetahui tentang keislaman Rahmat. Tanpa pikir panjang mereka mendatangi ibu angkat Rahmat. Kedua orang tuanya saat itu berpikir bahwa keislaman Rahmat adalah hasil hasutan ibu angkatnya. Setelah dijelaskan duduk perkaranya, keduanya tetap bergeming. Maka, komunikasi antara orang tua dan anak itu sempat terputus.

Sampai Tanah Suci 

Begitu lulus dari SMP, Rahmat melanjutkan pendidikan di pondok pesantren yang didirikan seorang mualaf Tionghoa di Deli Serdang. Syukurlah, waktu dua bulan cukup baginya untuk mengasah kemampuan tadarus Alquran. Ia merasa sangat berterima kasih dengan para ustaz setempat dan juga ibu angkatnya.     

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement