REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT - Badan pengawas HAM Amnesty International pada Senin mengungkapkan bahwa pihak berwenang Lebanon "berupaya menghalangi-halangi" proses penyelidikan ledakan di Pelabuhan Beirut yang terjadi setahun lalu.
Pernyataan itu dirilis dua hari jelang peringatan setahun ledakan besar pada 4 Agustus 2020 yang menewaskan lebih dari 217 orang dan melukai sekitar 7.000 lainnya.
Ledakan itu juga menyebabkan sekitar 300 ribu orang mengungsi, serta menyebabkan kerusakan berat pada rumah-rumah dan gedung perkantoran.
“Meskipun pihak berwenang Lebanon menjanjikan penyelidikan cepat, tetapi pada kenyataannya mereka kerap memblokir proses penyelidikan. Di sisi lain, para penyintas dan keluarga korban menyerukan keadilan dan pertanggungjawaban pidana tanpa lelah," kata Lynn Maalouf, wakil direktur untuk Timur Tengah dan Afrika Utara di Amnesty International.
"Otoritas memberhentikan hakim pertama yang ditunjuk untuk penyelidikan setelah dia memanggil tokoh politik untuk ditanyai. Mereka juga menolak permintaan hakim investigasi baru untuk mencabut kekebalan anggota parlemen dan menanyai pejabat keamanan sehubungan dengan tragedi itu," beber dia.
Pada 10 Desember 2020, mantan pejabat termasuk Menteri Keuangan Ali Khalil menolak hadir di hadapan hakim investigasi, Fadi Sawan, dengan alasan kekebalan mereka dari tuntutan dan pelanggaran konstitusi.
Sementara itu, keluarga korban ledakan dari waktu ke waktu mengorganisir demonstrasi untuk menuntut penyelesaian penyelidikan, mengungkapkan kebenaran di balik ledakan, dan meminta pertanggungjawaban mereka yang terlibat.
*Ditulis oleh Mahmoud Barakat