REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rr Laeny Sulistyawati, Novita Intan
Data terbaru Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mencatat sudah 640 dokter meninggal selama pandemi di Indonesia. Jumlah tersebut belum mencakup perawat dan tenaga kesehatan lainnya akibat Covid-19.
Pekerjaan tenaga kesehatan yang sangat riskan selama ini, salah satunya, dihargai dalam bentuk pemberian insentif. Setahun pandemi berlalu namun tak sedikit dokter, perawat, dan tenaga medis lainnya yang masih merasakan penundaan atau pemotongan pembayaran insentif.
Amnesty International Indonesia mencatat hingga kini pembayaran insentif untuk puluhan ribu tenaga medis ditunda bahkan dipotong. "Mulai dari Juni 2020 sampai Juli 2021, setidaknya ada 21.424 nakes di 21 provinsi yang tersebar di 34 kabupaten/kota mulai dari ujung Sumatra hingga Papua yang pernah mengalami penundaan atau pemotongan pembayaran insentif," kata Manajer Media dan Kampanye Amnesty International Indonesia, Nurina Savitri, saat memaparkan pada acara konferensi pers Pembayaran Insentif Tenaga Kesehatan Selama Pandemi Covid-19 yang disiarkan melalui kanal YouTube Amnesty International Indonesia, Jumat (6/8).
Ia menyebutkan, lima besar provinsi yang nakesnya pernah mengalami penundaan atau pemotongan. Yaitu Bogor sebanyak 4.258 nakes pernah mengalami penundaan atau pemotongan, Palembang Sumatra Selatan, ada 3.987, kemudian di Tanjung Pinang 2.900, Banyuwangi Jawa Timur 1.938, kemudian Kabupaten Bandung Barat Jawa Barat sebanyak 1.618.
Ia mengakui di antara nakes yang pernah mengalami pemotongan atau penundaan ini, memang sudah ada nakes yang dibayar insentifnya. Di antaranya nakes di Majalengka, Jawa Barat, sudah dibayar insentifnya hingga Maret 2021 namun di bulan berikutnya April hingga Juli 2021 belum dibayar lagi.
Kemudian di Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), Riau, sedang dalam proses pencairan insentif, Kota Probolinggo, Jawa Timur (Jatim), sudah dibayarkan hingga Juli 2021. Kemudian daerah Jatim lainnya yaitu Banyuwangi sudah dibayar hingga Juni 2021, selanjutnya ada Jombang di Jawa Timur sudah dibayar sampai Juni 2021.
Amnesty International mencatat alasan penundaan insentif adalah data pribadi nakes yang tidak sesuai dan harus melalui proses perbaikan. Selain itu hambatan birokratis, data tidak sesuai dengan kenyataan atau dokumen tidak sama juga menjadi kendala. Ia menambahkan, hambatan ini membuat pencairan insentif tertunda karena nakes harus mengurusi terlebih dahulu ke Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Padahal, pihaknya mencatat ada sekitar 760 ribu nakes berdomisili di luar Jawa.
Alasan lainnya yaitu pemotongan di fasilitas kesehatan. Menurutnya, pemerintah membayarkan insentif langsung untuk nakes yang bekerja di unit penanganan Covid-19 di fasilitas kesehatan seperti rumah sakit. Namun fasilitas kesehatan memotong insentif tenaga medis.
"Nakes yang mengatakan mengenai pemotongan insentif ini juga mendapatkan intimidasi dan ancaman. Dua kasus yang di-highlight yaitu kasus di Rumah Sakit Darurat Covid-19 (RSDC) Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta Pusat," ujarnya.
Saat itu, dia menambahkan, sejumlah nakes ingin mengadakan konferensi pers mengenai temuan mereka mengenai penundaan pembayaran dan pemotongan pembayaran tetapi mereka justru diinterogasi dan intimidasi yang dilakukan aparat. Ia menegaskan, yang dilanggar adalah hak tenaga kesehatan mengenai kondisi kesehatan kerja yang adil dan mendukung karena ini dilindungi lembaga internasional mengenai hak ekonomi sosial dan budaya.
Tak hanya itu, menurutnya kejadian ini juga melanggar hak nakes untuk berbicara termasuk kebebasan berekspresi. Ini juga melanggar hak tenaga kesehatan untuk secara kolektif membela kepentingan bersama, ini ada hak untuk kebebasan berserikat yang ada di pasal 22 Konvensi Hak Internasional Sipil dan Politik.
Lebih lanjut ia mengatakan, media pengumpulan laporan-laporan tersebut dari tabulasi hasil pemantauan dari media dan data independen dari sejumlah lembaga seperti laporCovid-19 sejak Januari hingga Februari 2021 yaitu 3.600 nakes yang disurvei yang tidak menerima insentif sama sekali. Kemudian Amnesty International Indonesia verifikasi ke berbagai pihak, termasuk organisasi profesi.
"Sehingga, rekomendasi dari kami yaitu ingin pemerintah menjamin hak kondisi kerja yang adil dan mendukung bagi tenaga kesehatan karena kami melihat kalau ini tidak dilindungi secara serius maka eksesnya tidak hanya dirasakan selama pandemi melainkan juga diluar pandemi. Kami juga mendesak pemerintah supaya pembayaran insentif yang dijanjikan kepada rekan-rekan tenaga kesehatan dibayarkan secara tepat waktu," ujarnya.
Menurutnya, pencairan insentif ini penting karena bisa jadi ini satu-satunya penghasilan nakes. Selain itu, pihaknya meminta pemerintah melindungi hak-hak nakes untuk bersuara. Menurutnya, Amnesty International Indonesua sudah meminta klarifikasi temuan pihaknya ke Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
"Namun hingga saat ini Kemenkes belum ada respons. Media bisa ikut membantu membuat berita dan melaporkannya," ujarnya.
Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, mengatakan pihaknya bersama dengan Indonesia Corruption Watch (ICW) hingga organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sejak lama memantau masalah insentif nakes. "Ada nakes yang sudah tidak mendapatkan insentif sejak November 2020. Kami merilis ini temuan-temuan nakes yang belum menerima insentif di policy brief," ujarnya.
Ia juga menyoroti ada masalah antar lembaga seperti Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) karena kurangnya koordinasi. Padahal, ia menambahkan, pandemi Covid-19 yang sudah berjalan selama 1,5 tahun terakhir.
Seharusnya tak hanya Presiden, ia meminta Kemenkes turun tangan bisa menyelesaikan masalah ini. Sebenarnya, ia menambahkan Kemenkes sudah banyak melakukan perubahan dalam aturan mengenai insentif di Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) per Maret 2021 dengan nomor HK.01.07/MENKES/4239/2021.
Artinya, aturan tersebut jadi pengakuan pemerintah bahwa banyak insentif belum terbayarkan. "Pandemi terjadi sejak Maret 2020 bahkan sekarang sudah Juni-Juli 2021 masih banyak yang belum dapat juga. Ini tuduhan sangat berdasar dan diakui pemerintah," ujarnya.
Atau, dia melanjutkan, perubahan aturan ini artinya Kemenkes mungkin merespons masukan tetapi masih banyak bolong. Pihaknya menduga bisa jadi ini karena pembacaan aturan yang kurang maksimal, banyak bolong-bolong dan akhirnya menimbulkan kerugian di nakes.