Kamis 12 Aug 2021 14:18 WIB

Refleksi Kemerdekaan Berekspresi

Beda di zaman kolonial, di alam merdeka kiba bebas berekpresi

Red: Muhammad Subarkah
Calon pembeli memilih hiasan bernuansa bendera Merah Putih yang dijual di kawasan Taman Makam Pahlawan, Kota Medan, Sumatera Utara, Rabu (11/8/2021). Sejumlah pedagang di kawasan tersebut mengatakan penjualan bendera Merah Putih beserta hiasannya menjelang HUT Kemerdekaan ke-76 RI sepi pembeli dan mengalami penurunan omzet sekitar 50 persen akibat pandemi COVID-19.
Foto: ANTARA/Fransisco Carolio
Calon pembeli memilih hiasan bernuansa bendera Merah Putih yang dijual di kawasan Taman Makam Pahlawan, Kota Medan, Sumatera Utara, Rabu (11/8/2021). Sejumlah pedagang di kawasan tersebut mengatakan penjualan bendera Merah Putih beserta hiasannya menjelang HUT Kemerdekaan ke-76 RI sepi pembeli dan mengalami penurunan omzet sekitar 50 persen akibat pandemi COVID-19.

IHRAM.CO.ID, Oleh: Verdy Firmantor, Kandidat Doktor Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia

Jelang peringatan 76 tahun kemerdekaan Indonesia, apakah kita juga telah merdeka dalam hal berekspresi? Kemerdekaan bereskpresi menjadi salah satu hak dasar yang diamanatkan konstitusi. Kritik menjadi manifestasi kebebasan berekspresi.

Eskalasi kritik meningkat selama pandemi Covid-19. Mulai kritik terhadap krisis orkestrasi komunikasi publik pemerintah. Kritik terkait mitigasi dampak Covid-19 dan sensitivitas atau empati elite politik. Sampai kritik yang menyoal Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) termasuk kritik BEM UI yang dulu sempat ramai terjadi.

Menyikapi realitas kritik, teringat Douwes Dekker (Multatuli), seorang pegawai residen Hindia Belanda lewat pesan satirnya dalam Max Havelaar. Meski ia seorang berkebangsaan Belanda, keberpihakan kemanusiaannya telah melampaui posisinya yang berani memprotes keras terhadap praktik kolonialisme.

Max Havelaar merupakan salah satu produk karya sastra yang tercatat mewarnai sejarah perlawanan terhadap kekuasaan. Dengan kata lain, perlawanan tak harus dengan peperangan atau demonstrasi di jalanan, melainkan juga melalui gerakan intelektual. Sama seperti halnya yang terjadi di Eropa dan Amerika Utara, kritik menjadi gerakan nalar yang disampaikan dalam pamflet-pamflet sebagai alat propaganda perlawanan. Salah satu dampaknya, melalui pamflet “Common Sense” dapat menyadarkan dan mengedukasi publik Amerika meraih kemerdekaan.

Refleksi historis itu mengantar kita agar lebih bijak mendudukkan konteks kritik dalam atmosfer kemerdekaan berekspresi. Jika dulu menggunakan pamflet maupun karya sastra, kini di era revolusi digital saluran untuk menyampaikan kritik semakin beragam. Penggunaan media sosial dapat menjadi sarana pengawasan massal yang lebih kreatif. 

Namun, sayangnya ruang publik saat ini banyak diwarnai hal-hal yang di luar substansi. Bahkan daripada mempersoalkan esensi kritik, justru lebih banyak saling berdebat dan menyerang privasi. Meminjam istilah Winston Churchill bahwa “Kritik mungkin tak menyenangkan, tapi itu perlu. Ini memenuhi fungsi yang sama seperti rasa sakit dalam tubuh, ia meminta perhatian pada keadaan yang tak sehat.” Layaknya vaksin di masa pandemi, ia meningkatkan imunitas tubuh, sementara kritik di masa kemerdekaan berekspresi menjadi “vaksin” yang menyehatkan demokrasi.

Nalar Kritik

Munculnya perbedaan pendapat di era demokrasi merupakan sesuatu yang wajar terjadi. Pemimpin tak perlu alergi dengan kritik. Apalagi di era media sosial memungkinkan seluruh elemen terlibat secara aktif menyuarakan aspirasinya. Kritik lahir sebagai proses kerja nalar dalam rangka merespon kebijakan. Kritik berfungsi sebagai sarana kontrol sosial yang penting dilakukan.

Di era penetrasi digital, kritik menemukan saluran yang semakin variatif. Di luar media konvensional, media sosial dapat menjadi saluran alternatif menyampaikana kritik. Kelemahannya, interaksi di era media sosial seringkali lebih condong memainkan sisi emosional daripada rasional. Hal itu yang membawa perdebatan menjadi kurang substansial. Di satu sisi, tujuan memberikan kritik dapat memunculkan diskursus sebagai ruang kebebasan berekspresi. Namun, di sisi lain justru lebih banyak mengarahkan terjadinya polarisasi.  

Kondisi di Indonesia memang belum sepenuhnya ideal. Berdasarkan survei Komnas HAM tahun lalu menunjukkan bahwa 36,2 persen warga masih merasa tak bebas dan tak aman berpendapat di media sosial. Pasal karet yang selama ini meresahkan publik dan kekhawatiran pelabelan kriminalisasi terhadap para pengkritik pemerintah diperlukan respon yang serius. Tafsir atas aturan tak bisa sepihak dari penguasa, perlu melibatkan masyarakat dan para pemangku kepentingan sesuai amanah UU.

Meski aturan pendukung UU ITE telah dibuat pemerintah melalui penerbitan Surat Keputusan Bersama (SKB), tapi belum secara otomatis menjamin kebebasan berekspresi secara penuh. Tanpa mewadahi aspirasi publik dan implementasi konkret di lapangan, pembuatan aturan sama saja hanya wacana. Lebih utama negara harus hadir sebagai pengayom kebebasan berpendapat, bukan musuh masyarakat.

 

Tiga Prasyarat Konsensus Komunikasi

Persoalan kebebasan berekspresi selama ini bukan hanya regulasi. Masalah utamanya adalah itikad politik negara (political will state) dan masyarakat (political will society). Untuk mengatasi persoalan perbedaan persepsi, ruang-ruang kritik perlu banyak dibuka. Sehingga interaksi antar pihak terwadahi sebagai konsensus komunikasi. Seperti ide pemikir kritis Jurgen Habermas, rasionalitas komunikatif diperlukan untuk mengisi ruang publik agar demokratis.

Rasionalitas komunikatif ditandai dengan upaya dialog bersama membangun konsensus guna menjembatani ragam perbedaan. Relasi kepentingan individu atau kelompok dengan kekuasaan negara idealnya setara. Secara konstruktif, rezim dalam paradigma ini tak menempatkan publik sebagai objek, melainkan subjek yang emansipatoris. Artinya ruang publik menjadi arena demokrasi untuk saling bertukar pandangan dan menyuarakan aspirasi pada pemerintah.

Rasionalitas komunikatif memfasilitasi cara mengkritik didasarkan pada argumentasi yang rasional. Cita-cita mewujudkan demokrasi penuh menjadi tanggung jawab bersama. Bagi pemerintah, upaya mengaktifkan fungsi-fungsi konsultasi dalam pembuatan kebijakan sangatlah penting. Sementara bagi masyarakat sipil, penyampaian aspirasi dilakukan sebagai representasi mengawal kebijakan publik lewat argumentasi bukan anarki.

Konsensus komunikasi dapat dicapai melalui tiga prasyarat politik koneksi demokratis seperti uraian Stephen Coleman, David E. Morrison dan Simeon Yates dalam The Mediation of Political Disconnection (2011). Pertama, perlunya menciptakan ruang publik yang terpercaya di mana keputusan pemerintah dapat dirumuskan, didiskusikan dan direvisi secara inklusif dan kolaboratif. Kedua, memperluas agenda politik sebagai cerminan nilai yang dibawa warga ke ruang publik. Ketiga, meminggirkan elitisme kebijakan dan mengundang partisipasi warga dalam arena deliberatif.

Poinnya, kemerdekaan berekspresi adalah salah satu amanat konstitusi. Terciptanya demokrasi penuh bukan harapan kosong. Spirit pasca reformasi dengan menjunjung tinggi kebebasan berekspresi menjadi warisan kemerdekaan yang hakiki. Tak perlu mundur dengan mendegradasi capaian yang sudah terlampaui. Kemerdekaan tertinggi bukan sekedar torehan proklamasi, namun kesempatan untuk memerdekakan diri sejak dalam pikiran kita sendiri. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement