REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Pakar Hukum Internasional dari Universitas Indonesia, Prof Hikmahanto Juwana meminta Pemerintah Indonesia terus memantau perkembangan kebijakan Pemerintah Belanda terkait kompensasi korban perang. Hal ini menyusul permintaan maaf Belanda soal kekerasan berlebihan selama Perang Kemerdekaan 1945-1949 di Indonesia.
Prof Hikmahanto mengamati rencana kompensasi korban perang yang akan diberikan Belanda sudah bergulir sejak beberapa tahun silam. Dalam kesepakatan penyelesaian kasus di Pengadilan Belanda pada 2019, Belanda menjanjikan dana kompensasi sebesar sekitar 5 ribu euro atau sejumlah Rp 87 juta. Ini menyangkut Pengadilan Belanda yang menyatakan tentara Belanda mengeksekusi warga Indonesia tanpa menjalani proses pengadilan.
"Ya kalau kompensasi mereka sudah katakan akan beri kompensasi. Tinggal nanti mekanisme di Indonesianya untuk memfasilitasi ini," kata Prof Hikmahanto kepada Republika.co.id, Senin (21/2/2022).
Hikmahanto menyarankan keluarga perang kemerdekaan di Indonesia menyiapkan segala dokumen yang diperlukan untuk mengeklaim kompensasi. Sebab dana kompensasi yang disepakati akan diberikan kepada setiap orang yang mempunyai klaim kredibel terhadap pembunuhan atau eksekusi ayah mereka oleh tentara Belanda.
"Mereka (keluarga korban perang) harus menyertakan bukti bahwa yang meninggal karena kekerasan adalah kerabatnya (keluarganya)," ujar Hikmahanto
Selain itu, Hikmahanto meminta Indonesia tegas dengan menyatakan tak akan pernah melupakan peristiwa di luar batas kemanusiaan itu. Pemerintah juga patut meminta Belanda meralat soal kapan kemerdekaan Indonesia diraih karena perbedaan versi yang diakui Belanda.
"Pemerintah perlu menyayangkan karena pemerintah Belanda masih bersikukuh kemerdekaan Indonesia adalah bulan Desember 1949 karena permintaan maaf ini atas tindakan militer Belanda yang biadab antara tahun 1945-1949. Dengan demikian 1945-1949 Belanda masih menganggap Indonesia sebagai wilayah kolonialnya," ujar Hikmahanto.
Hikmahanto mendesak Belanda tak lagi mencampuri urusan HAM di Tanah Air karena Negeri Kincir Angin itu pernah menjadi pelaku. "Pemerintah Belanda tidak punya lagi legitimasi untuk berbicara dan menceramahi Indonesia terkait masalah HAM dan pelanggaran HAM berat karena di masa lalu pemerintah Belanda melakukannya," tegas Hikmahanto.
Diketahui, temuan sejarah menunjukkan Belanda menggunakan 'kekerasan ekstrem' dalam merebut kembali wilayah bekas jajahannya termasuk Indonesia pada 1945-1949.