Jumat 20 Aug 2021 10:06 WIB

Kominfo: Waspadai Lima Modus Pelaku Penipuan Online

Penipuan digital phising, pharming, sniffing, money mule, dan social engineering.

Rep: fauziah mursid/ Red: Hiru Muhammad
Penipuan online/ilustrasi
Foto: abc
Penipuan online/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Kementerian Komunikasi dan Informatika mengingatkan masyarakat untuk mengantisipasi berbagai modus pelaku penipuan online. Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo, Semuel A. Pangerapan mengatakan setidaknya ada lima modus penipuan online uang terjadi di ruang digital.

“Kominfo meminta masyarakat untuk mewaspadai ragam modus penipuan online yang biasanya terjadi di ruang digital, seperti phising, pharming, sniffing, money mule, dan social engineering,” ujar Semuel dalam Webinar “Mewaspadai Jeratan Pinjaman Online Ilegal” dari Jakarta, Kamis (19/8)

Semuel menjelaskan, untuk modus penipuan berupa phising biasanya dilakukan oleh oknum yang mengaku dari lembaga resmi dengan menggunakan telepon, e-mail atau pesan teks. Pelaku itu kata Semuel, biasanya mengaku seolah-olah berasal dari lembaga resmi dan berupaya menggali data-data pribadi.

"Data-data pribadi ini biasanya digunakan untuk kejahatan berikutnya. Mereka menanyakan dat-data sensitif untuk mengakses akun penting yang mengakibatkan pencurian identitas hingga kerugian,” kata Semuel.

Karena itu, ia mengimbau masyarakat apabila mengalami hal ini, harus teliti membaca dengan benar dan melihat secara saksama isi dari SMS maupun email apakah benar pengirimnya berasal dari institusi asli.

Modus kedua, lanjut Semuel, adalah phraming handphone, yakni penipuan dengan modus mengarahkan korban kepada situs web palsu yang entri domain name system yang ditekan/di-click korban akan tersimpan dalam bentuk cache. Modus ini dapat memudahkan pelaku untuk mengakses perangkat pelaku secara ilegal.

Contohnya, kata Semuel, biasanya pelaku membuat domain seolah-olah mirip dengan asal institusi dari yang aslinya, lalu akan memasang malware agar bisa mengaksesnya secara illegal. 

"Kasus seperti ini banyak terjadi umpamanya ada yang Whatsapp-nya disadap/diambil alih karena ponsel sudah dipasangkan malware oleh pelaku sehingga data-data pribadinya dicuri,” jelasnya.

Sedangkan, modus ketiga yakni sniffing atau modus yang digunakan oknum pelaku dalam meretas untuk mengumpulkan informasi secara ilegal lewat jaringan yang ada pada perangkat korban. Setelah itu, pelaku mengakses aplikasi yang menyimpan data penting pengguna.

Sniffing ini paling banyak terjadi bahayanya kalau kita menggunakan/mengakses Wi-Fi umum yang ada di publik, apalagi digunakannya untuk bertansaksi. Ini bahaya karena sniffing itu kan biasanya terjadi di jaringan yang umum diakses publik, di situlah pelaku memanfatkannya,” katanya.

Modus keempat yakni money mule. Ia menjelaskan, penipuan jenis ini misalnya ada oknum yang meminta korbannya untuk menerima sejumlah uang ke rekening untuk nantinya ditransfer ke rekening orang lain.

“Kalau di luar negeri mereka berani kliring cek, kita dapat cek, tapi begitu kita periksa ternyata cek itu bodong. Begitu kita masukkan, kan kalau di sana prosesnya masuk itu muncul dulu di rekening kita, kalau ternyata tidak kliring, dipotong. Lalu, jika sudah digunakan, harus dikembalikan,” katanya.

Di Indonesia, biasanya pelaku akan meminta calon korban untuk pembayaran pajaknya dikirim terlebih dahulu. “Money mule ini biasanya ditanyakan pelaku dengan calon korban, maukah dapat hadiah atau pajaknya dikirim dulu. Jadi, sekarang itu masyarakat perlu berhati-hati karena money mule ini digunakan untuk money laundry atau pencucian uang," katanya.

Lalu kelima, Semuel menyebutkan modus penipuan online, yaitu social engineering. Ia menegaskan, modus ini perlu diwaspadai agar tidak terjadi penipuan online.

Melalui modus ini, pelaku memanipulasi psikologis korban hingga tidak sadar memberikan informasi penting dan sensitif. "Pelaku mengambil kode OTP atau password karena sudah memahami behavior targetnya. Dengan kata lain, masyarakat seringkali tidak sadar seringkali membagikan data-data yang seharusnya perlu dijaga,” katanya.

Ia menjelaskan penipuan online bisa berlangsung karena dinamika penggunaan ruang digital yang kian marak. Menurut dia, aktivitas transaksi di ruang digital dapat menimbulkan seseorang melakukan tindak kejahatan berupa penipuan online.

Apalagi, saat ini terdapat 202,6 juta pengguna internet di Indonesia. Karena itu, ia mendorong masyarakat waspada dengan mengenali modus pelaku penipuan online serta membiasakan diri melindungi data pribadi.

“Kita harus membuat password akun yang yang benar-benar tidak mudah ditebak. Kemudian sering-sering mengganti password, serta selalu melakukan update karena update software itu ada dua biasanya untuk meningkatkan fitur-fiturnya tapi juga untuk menutup lubang (keamanan) yang bisa menjadi peluang masuknya para penjahat untuk mengambil data,” katanya.

 

 

 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement