Kamis 26 Aug 2021 07:26 WIB

Batu Bara Masih Jadi Pilihan untuk Pembangkit Listrik

Batu bara masih menjadi primadona energi karena murah dan mudah didapatkan.

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Gita Amanda
Tren penggunaan batu bara untuk pembangkit listrik diproyeksi masih tinggi. (ilustrasi).
Foto: PLN
Tren penggunaan batu bara untuk pembangkit listrik diproyeksi masih tinggi. (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tren penggunaan batu bara untuk pembangkit listrik diproyeksi masih tinggi seiring harga produksi listrik yang menggunakan komoditas ini masih terjangkau. Pemanfaatan batu bara membuktikan ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil belum tergantikan.

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan, batu bara masih menjadi primadona energi yang murah dan mudah didapatkan. “Meskipun transisi energi di berbagai negara sedang dijalankan tetapi energi fosil tidak bisa dihilangkan begitu saja,” katanya.

Baca Juga

Saat ini, biaya pokok penyediaan tenaga listrik (BPP) PLTU sekitar Rp 600-Rp 800/kwh. Adapun, BPP PLN secara umum tercatat Rp 1.297/kwh per Juni 2021. Tidak hanya paling murah, pembangkit listrik berbasis batu bara PLN masih menjadi yang terbesar atau mencapai 66,81 persen dari total 275 Twh per 2020.

Menurutnya, permintaan batu bara di sejumlah negara masih sangat tinggi. Bahkan, volumenya diperkirakan dapat terus meningkat.

Hal itu sejalan dengan laporan International Energy Agency (IEA) baru-baru ini yang memperkirakan konsumsi batu bara global meningkat sebesar 2,6 persen pada 2021, didorong oleh sejumlah negara seperti China, India, dan Asia Tenggara.

Proyeksi tersebut ditopang oleh pemulihan ekonomi yang terjadi sehingga ada peningkatan permintaan untuk pembangkit listrik dan industri. Mamit menjelaskan, singgungan antara transisi energi dan upaya untuk mengoptimalkan batu bara pasti ada. Yang jelas, hal tersebut harus mempertimbangkan mana yang paling menguntungkan bagi masyarakat.

Adapun, penggunaan EBT sebagai energi bersih merupakan sebuah keniscayaan. Namun, untuk saat ini masih cukup banyak hambatan dalam pengembangannya. Pertama, listrik yang dihasilkan oleh EBT masih cenderung intermiten sehingga masih perlu di-backup oleh energi fosil.

Kedua, harga listrik yang dihasilkan oleh EBT relatif masih lebih mahal dibandingkan dengan PLTU. Hal tersebut akan langsung berdampak pada biaya pokok penyediaan (BPP) listrik.

Ketiga, komponen penunjang pembangkit EBT masih terbatas. Dengan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) yang rendah, pengembangan pembangkit EBT dinilai belum mampu memberikan manfaat yang maksimal bagi perekonomian nasional dalam waktu dekat.

“Pemanfaatan EBT harus melihat kondisi nasional, jangan hanya karena perjanjian internasional. Negara lain ada perjanjian internasional juga, tapi tetap saja masih gencar pakai batu bara,” ujar Mamit.

Sementara itu, untuk menyiasati risiko tingginya emisi dari PLTU, Mamit menilai sudah ada teknologi yang dapat memitigasi hal tersebut. Seiring dengan perkembangan teknologi, penggunaan batu bara bisa jadi lebih ramah lingkungan dengan menggunakan teknologi carbon capture, utilization, and storage (CCUS) maupun ultra supercritical boiler.

“Memang teknologi ini masih mahal, tapi ke depan sepertinya akan lebih murah dan terjangkau,” pungkasnya.

Adapun, Indonesia saat ini menjadi salah satu produsen dan eksportir utama batu bara di dunia. Pada tahun ini saja, produksi ditargetkan mencapai 550 juta ton dengan opsi penambahan 75 juta ton untuk pasar ekspor.

Kemampuan tersebut menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang yang cukup dominan dalam industri batu bara global.

Di sisi lain, saat ini tren transisi energi terus berkembang secara global, tak terkecuali di dalam negeri. Hal tersebut membuat pemerintah berkomitmen untuk mempercepat pengembangan energi baru terbarukan (EBT) sekaligus mengurangi porsi pembangkit listrik yang menggunakan energi fosil.

Bahkan, wacana penghentian operasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) mulai 2025 mulai berembus sehingga menjadi faktor risiko bagi industri batu bara dalam jangka panjang.

Hanya saja, dari sisi penyumbang emisi, sektor ketenagalistrikan malah bukan menjadi kontributor terbesar. Berdasarkan data McKinsey (2018), sektor kehutanan dan alih guna lahan menyumbang emisi hingga 43 persen, ketenagalistrikan sebesar 14 persen, serta perkebunan sebesar 12 persen.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement