Ahad 29 Aug 2021 22:30 WIB

Jangan Menukar Harta Anak Yatim dengan Harta yang Buruk

Berikan harta yang baik untuk anak yatim.

Rep: Ali Yusuf/ Red: Muhammad Hafil
Jangan Menukar Harta Anak Yatim dengan Harta yang Buruk. Foto ilustrasi: sedekah
Foto: pixnio
Jangan Menukar Harta Anak Yatim dengan Harta yang Buruk. Foto ilustrasi: sedekah

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Pandemi Covid-19 telah merenggut jutaan umat manusia di dunia termasuk di negara Indonesia. Banyaknya kasus kematian orang dewasa karena Covid-19 membuat anak-anak menjadi yatim dan piatu. 

Wakil Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail PBNU Ustadz Mahbub Maafi mengatakan, pandemi Covid-19 yang tidak bisa dipastikan kapan berakhirnya telah mengakibatkan banyak kerugian diberbagai lini kehidupan masyarakat. Menurutnya pendemi juga telah menyisakan penderitaan dan kesedihan yang mendalam terutama anak-anak yang ditinggal mati oleh orang tuanya. 

Baca Juga

"Akibatnya terjadi lojakan tajam jumlah anak yatim. Hal ini tentu menjadi keprihatinan kita semua," kata Ustadz Mahbub Maafi saat dihubungi Republika, Ahad (29/8).

Ustadz Mahbub Maafi mengatakan, dalam pandangan Islam sendiri kita diperintahkan untuk berbuat kebaikan (al-ihsan) anak-anak yatim. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt dalam surat Al-Baqarah ayat 83 sebagai berikut:

“Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim…"

Menurutnya, perintah berbuat baik kepada anak-anak yatim dalam ayat bisa dilakukan dengan memberikan bantuan (shadaqah) maupun dengan ucapan yang baik (husn al-qaul) kepada mereka. Hal sebagaimana yang dipahami penjelasan Abu al-Laits as-Samarqandi  (W. 373 H) dalam kitab tafsir Barh al-‘Ulum-nya.

"Inilah tanggung jawab sosial umat Islam," katanya.

Sementara yang tak kalah pentingnya adalah pihak yang menjadi wali anak yatim, di mana salah satu tanggung jawabnya adalah menjaga harta anak yatim tersebut. Jangan sampai mengambilnya dengan cara-cara yang tidak benarkan menurut syariat Islam.

Hal ini telah diingatkan firman Allah Swt dalam surat An-Nisa ayat 10 sebagai berikut: 

"Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)."

Karena itu tasharruf terhadap harta anak yatim oleh walinya hanya bisa dibenarkan jika hal tersebut untuk kemaslahatan atau kepentingan anak yatim. Di luar itu harus dihindari khususnya oleh kita sebagai umat Nabi Muhammad SAW.

Selanjutnya point terakhir adalah perlakukan wali kepada anak yatim. Hendaklah wali juga berfikir seandainya anaknya menjadi yatim, sehingga ia harus memperlakukan anak yatim yang ada dalam perwaliannya sebagaimana anak sendiri.

Dalam surah An-Nisa ayat 2 Allah SWT telah mengingatkan kita jangan memakan harta anak yatim. 

“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama harta kamu. Sesungguhnya itu, adalah dosa yang besar. ”

Prof Quraish Shihab mengatakan, ayat  di atas (An-Nisa ayat 2) menerangkan tentang siapa yang harus dipelihara hak-haknya dalam rangka bertakwa kepada Allah dan memelihara hubungan rahim itu. Tentu saja yang utama adalah yang paling lemah, dan yang paling lemah adalah anak yang belum dewasa yang telah meninggal ayahnya, yakni anak-anak yatim. 

"Karena itu yang pertama diingatkan adalah tentang mereka," katanya.

Ayat ini memerintahkan kepada para wali: "Dan berikanlah kepada anak-anak yatim harta mereka."

Artinya ketika kita memeliharalah harta anak yang belum dewasa yang telah meninggal ayahnya, yang berada dalam pengasuhan kita maka berikanlah harta milik anak-anak yang tadinya yatim dan kini telah dewasa.

"Dan jangan kamu dengan sengaja"

Dan sungguh-sungguh sebagaimana dipahami dari penambahan huruf ta ’ pada kata tatabaddalu (menukar) dengan mengambil harta anak yatim yang buruk, yakni yang haram dan mengambil yang baik untuk harta kamu, yakni yang halal, dan jangan juga kamu makan,yakni gunakan atau manfaatkan secara tidak wajar harta mereka didorong oleh keinginan menggabungnya bersama harta kamu. 

"Sesungguhnya itu, yakni semua yang dilarang di atas adalah dosa dan kebinasaan yang besar," tulis Prof Quraish Shihab dalam tafsirnya Al-Misbah.

Menurutnya, kata tatabaddalu, ada yang memahaminya dalam arti menjadikan, karena menukar adalah menjadikan sesuatu di tempat sesuatu yang lain, sehingga atas dasar itu sementara ulama memahami larangan di atas dalam arti:

"Jangan kamu jadikan harta yang buruk buat mereka dan harta yang baik buat kamu,"

Artinya jangan mengambil harta-harta mereka yang bernilai tinggi dan meninggalkan buat mereka yang tidak bernilai. Memang  pada masa Jahiliah, banyak wali yang mengambil harta anak yatim yang kualitasnya baik dan menukarnya dengan barang yang sama milik wali tapi yang berkualitas buruk, sambil berkata bahwa kedua barang itu sama jenis atau kadarnya.

 

 

 

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement