REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dadang Kurnia, Dian Fath Risalah
Kabar munculnya varian baru Covid-19 mengemuka dari Surabaya, Jawa Timur. Rumor tersebut keluar setelah adanya pasien Covid-19 yang dirawat di Rumah Sakit Lapangan Indrapura (RSLI) Surabaya dengan CT value sangat rendah yaitu 1,8.
Penanggung Jawab RSLI Surabaya, Laksamana Pertama dr Ahmad Samsulhadi, meluruskan tentang kabar varian baru. RSLI disebutnya sedang merawat 148 pasien Covid-19, 122 orang di antaranya merupakan pekerja migran yang kembali dari perantauan.
Karena para pekerja migran ini berpotensi besar membawa virus corona varian baru, begitu masuk RSLI mereka biasanya langsung diukur CT value-nya. Sesuai instruksi Kemenkes, pasien dengan CT value di bawah 25 sampelnya harus dikirim ke laboratorium untuk dilakukan penelitian terkait kemungkinan terpapar varian baru atau tidak.
"78 (sampel yang dikirim ke laboratorium) itu kumpulan sampel dari awal Mei 2021," ujar Samsulhadi di Surabaya, Jumat (10/9).
Samsulhadi menjelaskan, sejak awal Mei 2021, pihaknya telah mengirimkan 78 sampel pasien Covid-19 pekerja migran ke laboratorium, untuk diteliti terkait kemungkinan terpapar varian baru. Semua sampel yang dikirim tersebut, kata dia, berasal dari pasien Covid-19 pekerja migran dengan CT value di bawah 15 dengan kondisi klinis tertentu.
"Kalau ikuti anjuran Kemenkes, sebenarnya harusnya CT value di bawah 25. Tapi jumlahnya mencapau 879 orang. Karena laboratorium sangat terbatas, kita pilih lagi CT valuenya di bawah 15 dengan kondisi-kondisi klinis tertentu," ujar Samsulhadi.
Hasilnya, muncul info salah satu pasien memiliki CT value yang sangat rendah. Dokter Penanggung Jawab Pelayanan RSLI Surabaya Fauqa Arinil Aulia menjelaskan, temuan pasien Covid-19 yang memiliki nilai CT value rendah, yakni 1,8. Pasien yang dimaksud merupakan Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal Jawa Timur yang kembali ke kampung halamannya.
Fauqa mengatakan, rendah atau tingginya nilai CT value pasien Covid-19 bisa dipengaruhi alat dan metode PCR. Ia mengatakan, teknologi kedokteran terus berkembang dan asing-masing metode yang digunakan, bisa mempengaruhi tinggi atau rendahnya nilai CT value pasien Covid-19.
"Kalau ada angka, itu kita baca dulu. Hasil ini diperiksa dengan instrumen apa, laporannya apa. Kalau CT value 1,8 yang kemarin heboh itu, alatnya itu isotermal PCR," ujarnya.
Fauqa menjelaskam, ada beberapa jenis tes PCR, seperti RT-PCR (reverse transcription PCR) dan iiPCR (insulated isothermal PCR). Teknik spesifik yang digunakan pada kedua pemeriksaan ini berbeda. RT-PCR temperatur yang digunakan pada proses amplifikasi gen target bersiklus-siklus. Sementara iiPCR temperaturnya cenderung konstan (isothermal).
Fauqa mengatakan, sampel pekerja migran yang memiliki nilai CT value 1,8 tersebut karena diperiksa menggunakan metode iiPCR. Menurutnya, jika CT value mereka senilai 1,8 pada metode iiPCR, kemudian dikonversi dalam satuan yang ada pada metode RT-PCR, hasilnya berada di angka 20 ke bawah.
"Jadi 1,8 itu bukan CT value. Itu index ratio. Kalau di bawah 1,1 itu negatif, kalau 1,8 itu positif makanya kami terima di sini. Berikutnya monitoring dengan alat di sini," kata dia.
Juru Bicara Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi mengatakan, CT value tidak bisa menggambarkan mutasi varian baru Covid-19. "CT Value tidak bisa menggambarkan apakah ini sebuah varian baru atau tidak," kata Nadia dalam keterangannya, Jumat (10/9).
CT value atau cycle threshold value adalah suatu nilai yang muncul dalam pemeriksaan PCR. CT value PCR berfungsi untuk menentukan status apakah seseorang positif atau negatif terkait infeksi virus Covid-19. Selain itu, CT value juga dapat menunjukkan kemungkinan jumlah virus corona di dalam tubuh serta menentukan risiko pasien untuk mengalami komplikasi atau gejala berat Covid-19.
Perihal mutasi varian Covid-19, lanjut Nadia, hanya bisa dipastikan dengan melakukan Whole Genome Sequencing (WGS). Dari pemeriksaan itulah bisa mendeteksi varian baru yang sudah menjadi transmisi lokal.
"Dengan WGS itu kami bisa memetakan mutasi-mutasi yang terjadi dan mencocokkan dengan primer yang terkait. Kalau varian baru akan cocok dengan primer, tetapi kita bisa melakukan bentuknya seperti yang disampaikan oleh WHO, perlu dilakukan kajian lebih lanjut," ujar Nadia.
Ihwal dugaan varian baru di Surabaya tersebut, Nadia mengatakan akan menunggu hasil pemeriksaan WGS yang dilakukan di laboratorium dan sekuensing yang dilakukan oleh Universitas Airlangga.
Ketua Satgas Covid-19 Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Zubairi Djoerban menjelaskan CT value tinggi atau rendah bukanlah indikasi dari jumlah virus. Pun tidak menentukan infeksius atau kurang infeksius. "CT rendah bukan patokan lanjut dan tidaknya isolasi pasien dan juga belum bisa jadi acuan untuk penentuan dan deteksi varian baru," tegasnya.
Penanggung Jawab RSLI Surabaya, Laksamana Pertama dr Ahmad Samsulhadi menegaskan pihaknya tidak pernah mengumumkan temuan varian baru Covid-19. Namun, karena para pekerja migran ini berpotensi besar membawa virus Corona varian baru, begitu masuk RSLI mereka biasanya langsung diukur CT valuenya. Sesuai instruksi Kemenkes, pasien dengan CT value di bawah 25 sampelnya harus dikirim ke laboratorium untuk dilakukan penelitian terkait kemungkinan terpapar varian baru atau tidak.
Samsulhadi menegaskan, pihaknya tidak mempuyai kewenangan untuk mengumumkan ada atau tidaknya pasien yang terpapar Covid-19 varian baru. Menurutnya, yang boleh mengumumkan temuan Covid-19 varian baru adalah laboratorium.