Ahad 12 Sep 2021 15:05 WIB

Indonesia tak Usah Terjebak Persaingan Amerika vs China

Amerika dan China akan terus berebut pengaruh ekonomi dan politik internasional.

Imam Pituduh. (Foto ilustrasi)
Foto: nu.or.id
Imam Pituduh. (Foto ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Wakil Sekretaris Jenderal PB Nahdlatul Ulama, Imam Pituduh meminta masyarakat dan pemerintah Indonesia tak usah terjebak pada persaingan Amerika dan China. Kedua negara ini akan terus bersaing berebut pengaruh ekonomi dan politik internasional.

“Kita jangan terpengaruh pada saling tuduh dan klaim dalam kasus asal muasal pandemi Covid,” kata Imam, dalam siaran persnya, Ahad (12/9). Perseteruan keduanya tidak akan pernah selesai.

Sutradara film ‘Super Santri: Konspirasi Menguasai Negeri’ mengungkapkan, hubungan kedua negara ini diibaratkan relasi benci dan rindu. Dijelaskannya, Amerika dan China punya  saling ketergantungan ekonomi satu dengan lainnya.

Pada saat menjadi Presiden Amerika Serikat, Donald Trump menuduh bahwa virus Corona berasal dari kebocoran di laboratorium Wuhan Institute of Virology (WIV).  Bulan lalu, Office of the Director of National Intelligence Amerika merilis laporan. Komunitas intelejen itu terbelah soal asal usul virus, karena ada sebagian yang menyebut berasal dari alam dan sebagian lainnya yakin sumbernya dari laboratorium.

Menyikapi tuduhan Amerika Serikat itu, Kementrian Kesehatan Nasional China mendesak penelusuran terkait asal virus Corona yang menyebabkan pandemi Covid-19 itu diperluas ke berbagai negara, termasuk Amerika Serikat. Wakil Menteri NHC, Zeng Yixin, mengatakan, melacak asal-usul Covid-19 adalah pekerjaan ilmiah. Oleh karena itu, pemerintah China selalu menyatakan, pekerjaan itu harus dengan cara ilmiah. China menentang untuk mempolitisasinya.

Sebelumnya, para ahli internasional dari misi bersama WHO-China mengatakan tidak ada bukti yang mendukung teori kebocoran laboratorium. Ini menguatkan argumen China soal adanya binatang kelelawar yang membawa vaksin Corona itu ke manusia, sampai kemudian meluas seperti saat ini.  Bagi Pemerintah  China, studi asal-usul virus itu adalah masalah ilmiah yang membutuhkan kerja sama ilmuwan global. 

Menghadapi persaingan Amerika dan China tersebut, menurut Imam, Indonesia mesti membangun orkestrasi dan berdiri di tengah-tengah atau non-blok. Dikatakannya, secara geografis, letak Indonesia ada di tengah-tengah persilangan lalu lintas maritim global dan dikenal sebagai bangsa moderat.

“Oleh karena itu, Indonesia harus pintar menari di tengah tatanan global dan tidak terjebak memihak kepada satu kubu,” kata penerima Penghargaan Menteri Luar Negeri Jepang Tahun 2020 itu.

Saat ini, lanjut Imam, adalah zaman kolaborasi, bukan lagi era konfrontasi atau perseteruan. Masalah-masalah global seperti pandemi Covid-19, dan perubahan iklim harus ditangani bersama-sama oleh seluruh negara dan umat manusia, karena dampaknya menimpa warga dunia, baik yang kaya atau miskin.

Para pendiri bangsa, menurut dia, telah meletakkan dasar pergaulan global yang harus dilakukan pemerintah. Indonesia mesti bergaul dengan China, Amerika, Rusia, Eropa dan negara-negara lain di Asia, Afrika dan Amerika. “Kita tak bisa sendirian hidup di dunia, harus bekerja sama, asal menguntungkan NKRI,” katanya.

Indonesia harus juga menjadi pengendali orkestrasi peradaban dan membangun peradaban dunia.  Indonesia sedang masuki tatanan dunia baru yang mengharuskan untuk berubah.

Imam menyebut, saat ini ada lima perang besar yang harus dihadapi Indonesia. Pertama, kata Imam, adalah perang kebudayaan pop. Negara-negara berkompetisi mempengaruhi dunia dengan budaya pop-nya. Kedua, perang digital melalui platform digital dan teknologi Internet yang bakal mempengaruhi kedaulatan digital satu negara.

Ketiga, perang mata uang dimana Indonesia akan menghadapi mata uang tunggal. Keempat, perang biologi dimana industri kesehatan menjadi panglimanya. Terakhir, ujar Imam Pituduh, adalah perang perebutan energi, air bersih dan bahan-bahan makanan. Perubahan iklim menyebabkan makin sulitnya air bersih dan sumber-sumber makanan dan berpotensi terjadinya konflik.

Bangsa Indonesia, menurut dia, harus memperkuat tatanan sosial dan tatanan keluarga yang kokoh. Ini yang akan jadi benteng pertahanan terakhir NKRI.

Pada level mikro, keluarga dan rumah tangga mesti berdaulat dalam hal pangan. Di perkotaan bisa dilakukan melalui urban farming di atap rumah atau halaman. Di pedesaan melalui tanaman sayur-mayur atau buah-buahan di pekarangan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement