REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ridwan Saidi, Budayawan, Sejarawan Betawi, dan Politisi Senior
Nama yang digunakan di Indonesia pernah Republik Rakyat Tiongkok disingkat RRT. Sejak Reformasi, istilah yang dipakai China dari People Republic of China, nama resmi di PBB. Penyebutan China populer, ekonom Mari Pangestu, misalnya, mengucapnya chayne. Kronologi relasi keduanya sebagai berikut.
1. 1947-1948.
Internal China bergolak rebut kuasa antara Kuomintang pimpinan Chiang Kai Sek versus Kungchantang pimpinan Mo Tse Tung. Polarisasi itu bergema di warung-warung China di kampung-kampung. Yang Kungchantang pasang potret Mo Tse Tung depan warung mereka, yang Kuomintang pajang potret Chiang Kai Sek
Di Indonesia dahulu ada koran Keng Po. Media ini dianggap pro Kuomintang. Kalau koran Sin Po dianggap pro Kungchantang.
Di jalan bagaimana? Lihat anak mudanya nyanyi lagu apa. Kalau mereka menyanyi Mo Tse Tung Chiang Kai Sek ada pantun Betawinya: gue pentung kalau lu ledek. Ini Kungchantang.
Sebaliknya, kalau yang satunya nyanyi Chiang Kai Sek Mo Tse Tung pantun Betawinya juga ada: lu ledek, gue jejelin puntung. Ini Kuomintang.
Ketegangan ini berakhir dengan kemenangan Kungchantang di Tiongkok yang kemudian memerdekakan China dan mendirikan Partai Komunis China. Kuomintang lari ke Pulau Formosa. Pulau ini ada penduduk native yang disebut suku Amis yang tergolong mikronesia. Mereka bukan China.
Pemerintah Taiwan dan pengungsi dari daratan berstatus pendatang. Karena itu, kalau Taiwan tak dapat mendirikan negara di Formosa, bukan karena one China policy, tapi Taiwan dan China tak punya hak historis atas Formosa.
2. 1963-1965.
Era ini terjadi di Indonesia ditandai dengan adanya film Tiongkok gusur Hollywood. Film Hollywood tidak diputar, akhirnya tak beredar. Kita kalau mau nonton terpaksa milih film Rusia atau Tiongkok.
Film Bollywood sejak 1962 tak beredar. Buat saya, mending film Rusia, tema bervariasi. Pernah saya nonton film Tiongkok, seperti biasa temanya hajar nekolim. Nekolim ditampilkan bodoh dengan perut buncit.
Menonton adegan film itu saya berpikir keras: kok nekolimnya pakai kacamata hitam terus? Rupanya yang jadi nekolim China, supaya tak gampang ketahuan dikacamatakan. Ending film biasanya nekolim di-udak-udak sama orang kampung dan nyemplung di got.
Suatu hari di tahun 1960-an dikabarkan Bung Karno sakit dan berobat sama sinshe di RRT. Sembuh. Nama sinshe berkibar. Sinshe-sinshe ke Jakarta jadi tamu negara. Turun di airport Kemayoran pada berkacamata hitam. Pas duduk mereka bejejeran sembari angkat kaki. Hatta bagi mereka yang dengkulnya sudah teklok dibantu angkat kaki sama temannya. Supaya keren.
Baca juga : Sikapi Pangkostrad Dudung, MUI: Jangan Samakan yang Beda
3. Masa Reformasi.
Saya heran, yang suruh mundur pak Harto kan Menlu USA Medelin Albright via telepon, kok yang kemudian joget-joget China. Nengok ke sana kemari, semua proyek China. Jalan layang, jalan buntung, semua China.
Pembesar Indonesia pada mondar-mandir ke China, tokoh partai juga. Malah ada partai yang kirim aktivisnya untuk dikader di China. Pas HUT Partai Komunis China (PKC), ada yang sebut Jin Ping dengan Yang Mulia.
Pas US Army datang untuk Latihan bersama, mereka pada bungkem kabeh. Tak satu yang berani omong kecam USA. Yah, begitulah.