Jumat 17 Sep 2021 19:02 WIB

Uang Elektronik dalam Pandangan Ustadz Oni Sahroni

Ustadz Oni Sahroni menjelaskan transaksi uang elektronik.

Rep: Muhyiddin/ Red: Muhammad Hafil
Uang Elektronik dalam Pandangan Ustadz Oni Sahroni. Foto: Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Oni Sahroni.
Foto: Republika/Prayogi
Uang Elektronik dalam Pandangan Ustadz Oni Sahroni. Foto: Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Oni Sahroni.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Konsep uang elektronik saat ini memang sedang menjamur di Indonesia. Masyarakat tidak perlu lagi membawa uang tunai ketika harus membayar tol, makan di restoran, hingga bertransaksi membayar tiket kendaraan umum.

Menggunakan uang elektronik sudah merupakan kelaziman di masa kini karena memberikan kemudahan dalam bertransaksi. Namun, sebagian masyarakat mungkin masih ragu dengan ketentuan hukumnya menurut ajaran Islam.

Baca Juga

Uang elektronik atau e-money pada dasarnya sama seperti uang biasa, hanya dalam bentuk yang berbeda. Karena itu, bermuamalah dengan uang elektronik sejatinya adalah mubah, sah dan halal selama memenuhi prinsip-prinsip syariah muamalah.

Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI), Ustadz Oni Sahroni menjelaskan, DSN MUI sebenarnya telah menerbitkan fatwa tentang Uang Elektronik Syariah. Jika merujuk pada fatwa tersebut, menurut dia, maka uang elektronik atau dompet digital harus memenuhi rambu-rambu syariah.

Pertama, ditempatkan di bank syariah. Jumlah nominal uang elektronik yang ada pada penerbit ditempatkan di bank syariah karena transaksi di bank konvensional itu pinjaman berbunga yang diharamkan.

“Maksudnya uang yang tersimpan dalam dompet digital atau rekening customer ditempatkan di bank syariah agar menguatkan lembaga keuangan syariah,” ujar Ustadz Oni kepada Republika.co.id, Jum’at (17/9).

Kedua, dompet digital ini harus digunakan sebagai alat pembayaran untuk membeli barang yang halal seperti alat-alat pendidikan, alat-alat olahraga, asuransi, atau asuransi kesehatan syariah. "Sebaliknya, tidak digunakan untuk membeli barang yang tidak halal, merugikan akhlak, dan merusak pendidikan anak," katanya  

Ketiga, jika uang elektronik menggunakan chip based, dalam hal kartu e-money hilang, jumlah nominal uang yang ada di penerbit tidak boleh hilang.

“Penyelenggara e-money dan bank menjamin ketersediaan dana customer walaupun kartunya hilang karena itu milik mereka. Tapi rambu-rambu tersebut tidak berlaku jika e-money tersebut berbentuk server based,” jelasnya.

Keempat, ketentuan hak dan kewajiban para pihak dituangkan dalam ketentuan platform dan disetujui pelanggan, termasuk diskon yang diberikan penerbit e-money kepada pelanggan.

Sekarang ini banyak promo menarik bagi pengguna uang elektronik. Jika belanja memakai uang digital maka mendapatkan diskon atau cashback. Apakah hal ini juga diperbolehkan dalam Islam? 

Ustadz Oni menjelaskan, diskon tersebut diperkenankan jika dana yang ditempatkan pengguna di dompet digital digunakan oleh penerbit dengan diskon yang diberikan atas inisiatif penerbit (tanpa syarat), tidak digunakan oleh penerbit uang digital. Sedangkan, jika digunakan oleh penerbit, dengan diskon yang dipersyaratkan, maka menjadi riba.

Untuk lebih jelasnya, Ustadz Oni menguraikan dalam beberapa poin.

Pertama, sebagai gambaran, promo diskon dan cashback itu salah satu strategi marketing penerbit uang digital, pada saat yang sama menguntungkan pengguna dan merchant. 

"Di antara keuntungan penerbit adalah cash in dan cash out atas setiap penempatan dana pengguna tersebut, fee dari merchant, dan fee atas layanan uang digital lainnya," ucapnya. 

Diskon tersebut diberikan oleh penerbit. Misalnya, si A top-up Rp 100 ribu di rekening uang digital. Penerbit bisa menggunakan saldo pengguna tersebut. Si A membeli barang dari toko C seharga Rp 100 ribu dengan diskon 30 persen menggunakan uang digital sebagai alat pembayaran. Sementara, penerbit membayar kepada merchant dengan harga penuh.

Kedua, apa kaidah fikih terkait diskon?

Jika diskon terjadi dalam transaksi utang piutang dan dipersyaratkan oleh kreditur, itu termasuk riba. Tetapi, jika tidak dipersyaratkan, menurut sebagian ulama itu bukan riba, melainkan hibah (adh-Dharir, al-Jawa’iz, Hauliyatu al-Barakah, edisi V, Oktober 2003).

Ketiga, kapan dana yang di-top-up pengguna di dompet digital statusnya sebagai titipan atau pinjaman?

Jika penerbit tidak menggunakan dana pengguna tersebut, maka berstatus titipan. Tetapi, jika penerbit menggunakannya, maka menjadi utangnya kepada pengguna. Jika menggunakan uang digital sebagai alat pembayaran dengan syarat ada diskon, maka diskon menjadi riba. Tetapi, jika menggunakannya tanpa syarat maka diperkenankan sebagai hibah.

Salah satu indikator dipersyaratkan, pengguna mau top-up karena diskon dan penerbit pasti memberikan diskon atas setiap penggunaan uang digital sesuai yang diperjanjikan. Sementara, salah satu indikator tidak dipersyaratkan, pengguna top-up bukan karena diskon, melainkan karena faktor lain, seperti kemudahan bertransaksi, dan penerbit tidak selalu memberikan diskon atas setiap penggunaan uang digital.

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement