Sabtu 25 Sep 2021 13:46 WIB

Pengamat Sarankan Jokowi Tanggapi Ultimatum BEM SI

BEM SI mengancam bakal turun ke jalan menyuarakan penolakan TWK KPK.

Rep: Haura Hafizhah/ Red: Agus raharjo
Massa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) saling dorong dengan pihak kepolisian saat aksi unjuk rasa di kawasan Jalan Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Kamis (24/6/2021). Aksi menyerukan menolak adanya pelemahan terhadap lembaga antirasuah, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut sempat ricuh karena Ketua DPRD Kalsel Supian HK yang tak kunjung datang menemui para demonstran, sesuai tuntutan mereka
Foto: ANTARA//Bayu Pratama S
Massa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) saling dorong dengan pihak kepolisian saat aksi unjuk rasa di kawasan Jalan Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Kamis (24/6/2021). Aksi menyerukan menolak adanya pelemahan terhadap lembaga antirasuah, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut sempat ricuh karena Ketua DPRD Kalsel Supian HK yang tak kunjung datang menemui para demonstran, sesuai tuntutan mereka

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Esa Unggul Jamiluddin Ritonga menyarankan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendengarkan dan mengakomodir ultimatum BEM UI terkait tes wawasan kebangsaan (TWK) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Di bawah kepemimpinan Firli, KPK memecat penyidik KPK yang berdasarkan hasil TWK.

Jamiluddin menilai aspirasi mahasiswa pada umumnya didorong oleh idealismenya, bukan kepentingan politik praktis. "BEM SI mengultimatum Presiden Jokowi untuk membatalkan hasil TWK penyidik KPK dan pemecatan Novel Baswedan beserta kawan-kawannya. Bila dalam waktu tiga hari tidak dilakukan Jokowi, BEM mengancam akan turun ke jalan. Dengan begini, Jokowi harus mendengarkan dan tanggapi BEM SI," katanya kepada Republika.co.id, Sabtu (25/9).

Kemudian, ia melanjutkan BEM SI selama ini juga selalu melakukan pengkajian sebelum menyampaikan aspirasinya. Mereka lebih melihat suatu persoalan dalam bingkai untuk kebaikan bangsa dan negara. Jadi, ultimatum BEM SI itu tentu didasari dari keprihatinan atas hasil TWK penyidik KPK yang kontroversial.

"Pegawai KPK yang selama ini sudah teruji integritasnya justeru yang tidak lulus TWK. Hal itu membuat pertanyaan sebagian besar anak bangsa, termasuk tentunya BEM SI," kata dia.

Ia menambahkan BEM SI khawatir terhadap KPK bila pegawai terbaiknya dipecat melalui hasil TWK yang kontroversial. Mahasiswa tidak mau melihat KPK melakukan ketidakadilan kepada Novel Bawesdan dan kawan-kawannya yang punya dedikasi.

"Karena itu, ultimatum BEM SI hendaknya dilihat dari kecintaan merek terhadap KPK. Mereka tak mau KPK hancur karena pegawai terbaiknya dipecat. Kiranya Jokowi dan elit politik negeri melihat dari konteks tersebut. KPK harus kuat sebagaimana amanah reformasi. Hal itu mutlak agar korupsi dapat diminimalkan di negeri tercinta," ujar dia.

Sebelumnya diketahui, Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) menyampaikan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo menjelang pemecatan 57 pegawai KPK pada 30 September mendatang. Pemberhentian para pegawai  dengan SK No.1327 dengan dalih TWK dinilai cacat, rasis, melanggar HAM dan maladministrasi.

Dalam surat terbuka tersebut, aliansi BEM Indonesia dan Gasak (Gerakan Selamatkan KPK) memberikan ultimatum kepada Presiden Jokowi untuk berpihak dan mengangkat 56 pegawai KPK menjadi ASN dalam waktu 3x24 jam sejak 23 September. “Jika Bapak masih saja diam tidak bergeming, maka kami bersama elemen rakyat akan turun ke jalan menyampaikan aspirasi yang rasional untuk bapak realisasikan.”

Surat yang ditandatangani Koordinator Pusat Aliansi BEM Seluruh Indonesia Novrian Fadil Akbar pada Kamis (23/9) ini menjelaskan beberapa pertimbangan mengapa mereka membuat surat tersebut. Pertama, KPK dilemahkan dengan terstruktur, sistemati dan masif sejak 2019. Terutama dengan hadirnya UU KPK 19/2019 yang menjadi preseden buruk karena melemahkan independensi lembaga KPK.

BEM SI pun menegaskan, pimpinan KPK yang bertanggungjawab atas TWK KPK dan pemecatan 57 pegawai bermasalah. Menurut BEM SI, rekam jejak Firli Bahuri saat menjabat deputi penindakan KPK dinyatakan melanggar etik berat. Firli bertemu dengan pihak berperkara. Semasa menjabat sebagai direktur penindakan, ada 26 operasi tangkap tangan (OTT) yang bocor. Dia pun terbukti melanggar etik karena gaya hidup mewah dengan naik helikopter pulang kampung ke Palembang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement