REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ronggo Astungkoro
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meminta semua pihak untuk waspada terkait potensi penularan Covid-19 yang dapat terjadi di sekolah ketika pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas. Data yang Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi ralat dinilai tak menafikan adanya klaster sekolah meskipun jumlahnya kecil.
"KPAI tetap mendorong kewaspadaan semua pihak, sekolah juga berpotensi menjadi tempat penularan Covid-19 jika protokol kesehatan banyak dilanggar warga sekolah. Data tersebut juga membuktikan, klaster sekolah ada meskipun jumlahnya kecil," ujar Komisioner KPAI, Retno Listyarti, saat dikonfirmasi, Senin (27/9).
Meski terdapat ralat pada data yang dikeluarkan oleh Kemendikbudristi, Retno mengapresiasi keterbukaan informasi keterbukaan informasi yang dilakukan oleh kementerian yang dipimpin oleh Nadiem Makarim itu. Dia melihat, ralat data yang diumumkan oleh Direktur Jenderal PAUD dan Pendidikan Dasar Menengah Kemendikbudristek, Jumeri, masih menunjukkan adanya klaster Covid-19 di PTM terbatas.
"Menurutnya (Jumeri), penularan Covid-19 tersebut belum tentu terjadi di satuan pendidikan. Sebab, satuan pendidikan yang melapor itu ada yang sudah melaksanakan PTM Terbatas dan ada yang belum," kata Retno.
KPAI pun mengaku kerap menemukan pelanggaran protokol kesehatan (prokes) saat melakukan pengawasan langsung terhadap PTM terbatas ke berbagai sekolah di sejumlah daerah. KPAI bahkan menemukan adanya sebagian guru dan siswa yang tidak bermasker saat berada di lingkungan sekolah.
Baca juga : KPAI: PTM Terbatas Seharusnya untuk Jenjang SMP ke Atas
"Pelanggaran prokes yang terutama adalah 3M, di antara masker yang diletakan di dagu, masker yang digantungkan di leher, tempat cuci tangan yang tidak disertai air mengalir dan sabun, bahkan ada sebagian guru dan siswa tidak bermasker saat berada di lingkungan sekolah," ujar Retno.
Retno menuturkan, ada sekolah yang mayoritas siswanya melepas masker saat tiba di sekolah. Ketika anak-anak tersebut diwawancarai, mereka mengatakan, mereka memakai masker saat di perjalanan pergi dan pulang sekolah. Menurut Retno, mereka menganggap fungsi masker sama dengan helm saja.
Retno juga mengatakan, berdasarkan pemantauan langsung pula, ada sekolah dasar (SD) yang memiliki tempat cuci tangan di setiap depan kelas. Namun, ketika diperhatikan, tak ada satu pun peserta didik dan pendidik yang mencuci tangan ketika tiba di sekolah. Mereka langsung masuk ke dalam sekolah.
"Saat KPAI datang dan duduk di dekat pintu gerbang sekolah, tak ada satu pun peserta didik dan pendidik yang mencuci tangan saat tiba di sekolah”, ungkap dia.
Retno mengaku, pada Sabtu (25/9) lalu dia menerima pengaduan masyarakat melalui aplikasi Whatsapp di ponselnya. Aduan masyarakat yang berasal dari Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sumedang itu terkait dengan pelaksanaan PTM terbatas di jenjang taman kanak-kanak (TK) dan SD. Aduan tersebut disampaikan dengan disertai foto-foto.
"Dalam foto tersebut tampak seorang siswa laki-laki berseragam putih merah sedang diperiksa suhu tubuhnya dengan thermogun oleh seorang guru perempuan yang tidak mengenakan masker," kata dia.
"Sedangkan foto yang satu lagi adalah suasana di dalam kelas di mana anak-anak sedang berdiri dengan tangan diangkat ke depan. Ada satu guru perempuan dan sembilan siswa/siswi TK, semuanya tidak menggunakan masker, baik guru maupun muridnya. Ini kan sangat berbahaya," sambung Retno.
Semestinya, kata dia, pendidikan dibuka dari perguruan tinggi, SMA/SMK, serta SMP yang peserta didiknya sudah divaksin dan perilakunya sudah terkontrol. Saat ini yang terjadi adalah perguruan tinggi belum dibuka, tapi PAUD/TK dan SD justru sudah dibuka.
"Perguruan tinggi belum dibuka, namun PAUD/TK dan SD malah sudah buka. Padahal anak PAUD/TK dan SD belum mendapatkan vaksin dan perilaku anak TK dan SD sulit dikontrol. Ini sangat berisiko," kata dia.
In Picture: Persiapan Tatap Muka Terbatas SD Negeri di Depok