REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setelah ditetapkannya Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Organisasi Papua Merdeka (OPM) sebagai salah satu kelompok teroris di Indonesia, muncul perdebatan pro dan kontra. Perdebatan terjadi terutama dari para aktivis HAM yang melihat bahwa terdapat subjektivitas dan unsur politik dari pemerintah dalam penetapan OPM sebagai kelompok teroris.
Perdebatan terkait HAM dan Penanggulangan terorisme juga muncul dari gerakan oknum separatis etnis Uighur di Xinjiang China yang dianggap para aktivis HAM sebagai bentuk perlawanan terhadap kesenjangan ekonomi, politik, dan HAM yang kerap dilanggar negara. Oleh karenanya, kebijakan Pemerintah Indonesia terkait deportasi empat orang etnis Uighur yang terungkap memiliki afiliasi dengan ISIS juga sempat disoroti karena dianggap tidak sensitif dan melanggar HAM.
Kepala Densus 88 AT Polri Irjen. Pol. Marthinus Hukom mengatakan, KKB OPM bukan sekadar organisasi separatis yang memiliki kepercayaan/keyakinan untuk memisahkan diri dari negara. KKB OPM dikategorikan sebagai terorisme karena melakukan kekerasan, intimidasi, dan menyebarkan rasa takut yang menyasar masyarakat yang tidak bersalah sebagai upaya mereka memaksakan kehendak terhadap orang lain.
"Diperlukan program deradikalisasi yang secara khusus diberikan kepada kelompok KKB agar dapat memutus tensi antara pelaku dan aparat keamanan. Terakhir, langkah-langkah politik di level internasional juga perlu terus digalakkan khususnya dalam upaya komunikasi politik agar Indonesia mendapat dukungan dari internasional untuk penyelesaian masalah di Papua yang lebih komprehensif," kata dia dalam sebuah seminar dengan judul: “Antara HAM dan Penanggulangan Terorisme: Studi Organisasi Papua Merdeka dan Gerakan Uighur” di Jakarta, seperti yang tertera dalam keterangan tertulis kepada republika.co.id, Rabu (29/9).
Selain KKB yang juga jadi topik utama dalam seminar ini yaitu Uighur. Marthinus menyebutkan, gerakan Uighur di Xinjiang adalah gerakan separatis. Namun disayangkan, ketika Uighur keluar dan mencoba masuk ke Indonesia, diduga malah bersentuhan dengan kelompok teroris Indonesia termasuk JAD dan MIT.
Plt. Dirjen Imigrasi, Kementerian Hukum dan HAM Ronny Franky Sompie, mengatakan, dalam konteks penangkalan terorisme, imigrasi melakukan kerja sama dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Polri terkait pemberian informasi mengenai daftar pencarian orang (DPO).
"Ini agar dapat dimasukkan ke dalam sistem imigrasi yang secara darinh sudah terintegrasi di seluruh Indonesia sehingga jika ada orang asing yang masuk ke dalam DPO, akan ada sistem peringatan yang akan menolak/menangkap DPO tersebut dengan sebelumnya berkoordinasi dengan BNPT/Polri," kata dia.
Dosen Prodi Kajian Terorisme dan Dept. HI Universitas Indonesia Ali A. Wibisono menilai tujuan dari penanggulanan terorisme adalah untuk memulihkan perdamaian dan keamanan bukan hanya negara, tetapi juga warga negara karena kajian terorisme masa kini telah membahas pada prioritas keamanan insani. Penerapan HAM dalam kontra-terorisme adalah sesuatu yang dikembangkan secara terus menerus.
Deputi III Kerjasama Internasional BNPT Andhika Chrisnayudhanto mengatakan, dalam konteks Papua, harus dipahami semenjak dilabel sebagai KKB, tingkat kekerasan yang dilakukan OPM semakin meningkat dengan korban sebanyak 70% berasal dari warga sipil.
"Melihat hal ini KKB OPM dapat dikategorikan sebagai kelompok teroris sesuai dengan definisi terorisme dalam UU No. 5 Tahun 2018. Definisi yang terdapat dalam UU No.5 Tahun 2018 ini dianggap representatif, lengkap, dan sesuai dengan DK PBB," kata dia.
Ketua Harian Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Irjen Pol. (Purn) Benny J. Mamoto mengatakan, dalam menjalankan tugas pengawasan terhadap kinerja kepolisian, Kompolnas ikut mengawal agar kepolisian memerhatikan berbagai peraturan Kapolri yang berkaitan dengan HAM seperti Perkap No.8 Tahun 2009 tentang Implementasi prinsip dan standar HAM dalam penyelenggaraan tugas Polri dan Perkap No. 1 tahun 2009 tentang penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian.
"Perlu dipahami bahwa pelaku kejahatan terorisme berbeda dengan pelaku kejahatan lain. Diperlukan tindakan dan pertimbangan-pertimbangan khusus baik dalam penangkapan, hingga pemeriksaan. Sayangnya masyarakat umum masih belum banyak memahami hal tersebut. Hal ini terjadi karena kurangnya sosialisasi terkait UU No.5 Tahun 2018," kata dia.