Rabu 06 Oct 2021 07:48 WIB

Mahfud: Presiden Setuju Berikan Amnesti untuk Saiful Mahdi

Saat ini proses amnesti tersebut masih menunggu pertimbangan DPR RI.

Rep: Flori Sidebang/ Red: Mas Alamil Huda
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD.
Foto: ANTARA/Rivan Awal Lingga
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan, Presiden Jokowi telah menyetujui pemberian amnesti kepada dosen Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Saiful Mahdi. Namun, Mahfud menyebut, saat ini proses amnesti tersebut masih menunggu pertimbangan DPR RI.

Mahfud menjelaskan, sebelum Presiden setuju memberikan amnesti, ia telah melakukan dialog dengan istri dan pengacara Saiful Mahdi pada tanggal 21 September 2021. Keesokan harinya, Mahfud menggelar rapat dengan pimpinan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) serta pimpinan Kejaksaan Agung.

"Saya katakan, kita akan mengusulkan kepada Presiden untuk memberikan amnesti kepada Saiful Mahdi. Lalu tanggal 24 (September 2021) saya lapor ke Presiden, dan Bapak Presiden setuju untuk memberikan amnesti," kata Mahfud kepada wartawan di Jakarta, Selasa (5/10).

Kemudian, sambung dia, tanggal 29 September, Presiden mengirimkan surat kepada DPR untuk meminta pertimbangan terkait amnesti bagi Saiful Mahdi. Sebab, berdasarkan Pasal 14 ayat 2 UUD 1945, Presiden harus mendengarkan DPR lebih dulu bila akan memberikan amnesti dan abolisi.

“Sekarang kita tinggal menunggu, dari DPR apa tanggapannya, karena surat itu mesti dibahas dulu oleh Bamus (DPR), lalu dibacakan di depan Sidang Paripurna DPR, jadi kita tunggu itu. Yang pasti, dari sisi pemerintah, prosesnya sudah selesai," jelas Mahfud.

Baca juga : Anies Ingin Keliling Indonesia Usai tak Jadi Gubernur DKI

Menurut dia, pemerintah bekerja cepat dalam kasus ini karena sudah berkomitmen untuk tidak terlalu mudah menghukum orang. “Kita kan inginnya restorative justice, dan ini kasusnya hanya mengkritik, dan mengkritik fakultas bukan personal, karena itu menurut saya layak dapat amnesti, makanya kita perjuangkan,” tegasnya.

Untuk diketahui, Saiful Mahdi ditetapkan bersalah hanya karena mengkritik proses rekrutmen CPNS di kampusnya. Kritik itu ia tulis melalui sebuah grup WhatsApp tertutup pada Maret 2019 lalu. Saiful Mahdi pun divonis hukuman tiga bulan penjara.

Sebelumnya, Direktur LBH Banda Aceh, Syahrul Putra Mutia yang ikut mengawal kasus Saiful Mahdi ini cukup menyayangkan proses penegakkan hukum dengan UU ITE yang serampangan ini. Ia menilai sangat ironis sekali, seorang dosen yang juga pejuang antikorupsi dan kebebasan akademik malah dipenjara.

"Kita datang ke kejaksaan hari ini bukan berarti ditundukkan, tetapi sebagai bentuk kepatuhan sebagai warga negara, namun di sisi lain kita akan berupaya untuk mencari jalan, melakukan perlawanan dan membuktikan ke publik bahwa kritik itu bukan hal yang haram, mudah dipidana meski lagi-lagi sistem kita sedang tidak sehat,” kata Syahrul.

Syahrul, yang mendampingi Saiful Mahdi dalam proses eksekusi menerangkan meskipun Saiful Mahdi menjadi korban ketidakadilan hukum, namun tetap taat hukum dan menghadiri panggilan Kejaksaan Negeri Banda Aceh untuk eksekusi.

Baca juga : Satgas: Kasus Covid Mingguan Turun 34,6 Persen

Melalui konferensi pers daring, keluarga dan para pendukung Saiful Mahdi yang terdiri dari akademisi, aktivis pro demokrasi, dan masyarakat sipil meminta Presiden Joko Widodo memberikan amnesti kepada Saiful Mahdi.

Amnesti adalah pengampunan atau penghapusan hukuman yang diberikan kepala negara kepada seseorang atau sekelompok orang yang telah melakukan tindak pidana tertentu.

Permohonan untuk membebaskan Saiful Mahdi telah bergulir sejak ia ditetapkan menjadi tersangka pada tahun 2019. Dukungan publik untuk membebaskan Saiful Mahdi juga tergambar dari 72 ribu tanda tangan petisi di platform Change.org.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement