REPUBLIKA.CO.ID, TASIKMALAYA -- Sutardi, seorang guru honorer asal Kecamatan Bojonggambir, Kabupaten Tasikmalaya, tak bisa menyembunyikan kekecewaan ketika namanya tak muncul dalam daftar guru yang lolos seleksi menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Lelaki yang kini berusia 58 tahun itu mengaku telah putus harapan.
Republika awalnya mencoba menghubungi Sutardi pada Jumat (8/10) sekitar pukul 11.00 WIB untuk menanyakan kabar kelulusannya. Ketika itu, ia mengaku belum melihat namanya di situs Kemendikbud yang menampilkan nama peserta yang lulus seleksi PPPK. Sutardi masih ingin mencari namanya.
Sekitar 15 menit berselang, Sutardi mengabarkan bahwa dirinya tak lulus. "Saya kecewa banget," kata guru Pendidikan Agama Islam (PAI) di SDN Timuhegar, Kecamatan Bojonggambir, itu kepada Republika.
Sutardi awalnya yakin akan lulus seleksi PPPK. Sebab, nilainya telah melewati passing grade. Sutardi yang memiliki sertifikat pendidik (serdik) mendapat afirmasi 100 persen untuk mendongkrak nilainya. Berdasarkan perbincangannya bersama para rekan sejawat di Kecamatan Bojonggambir, Sutardi semakin yakin dirinya akan lulus.
Ketika hari pengumuman hasil seleksi PPPK tiba, ternyata nama Sutardi tak ada. Setelah dicari tahu olehnya, ternyata ketidaklulusan menjadi PPPK disebabkan keterbatasan kuota untuk formasi guru PAI di Kabupaten Tasikmalaya.
Sutardi sejak awal sudah mengetahui kuota PPPK formasi guru PAI hanya ada satu untuk Kecamatan Bojonggambir. Namun, ia tak menyangka ada guru PAI dari kecamatan lain yang mendaftar di Bojonggambir.
"Jadi orang-orang, sekian puluh orang, memperebutkan satu kuota itu, termasuk dari kecamatan lain. Karena di kecamatan lain gak ada kuota guru PAI," kata dia.
Sutardi mengaku sangat kecewa karena tak lulus seleksi PPPK meski nilainya telah melewati passing grade. Apalagi, di kalangan rekan-rekannya, ia sudah diperbincangkan akan lulus.
"Sangat kecewa. Karena di kecamatan sudah diperbincangkan lolos, tapi ternyata ada yang datang dari kecamatan lain," ujar dia.
Ia juga menyayangkan sikap pemerintah yang "katanya" akan mengangkat guru berusia di atas 50 tahun. Namun kenyataannya, pernyataan pemerintah hanya jadi sekadar harapan baginya.
"Padahal, teman-teman juga yang awalnya tidak lewat passing grade di formasi PGSD, bisa lolos. Tapi karena saya PAI, kuota terbatas, tidak lolos," kata dia.
Sutardi tak tahu lagi bagaimana kariernya ke depan. Mengingat usianya tak lagi muda, ia berpikiran untuk berhenti menjadi guru. Sebab, ia mengaku sudah lelah. Baginya, melanjutkan profesi menjadi guru pun akan percuma. Tak akan ada perhatian dari pemerintah untuknya.
"Sudah capek banget. Sudah berusaha semaksimal mungkin. Saya sudah habis semangatnya," ujar dia.
Sutardi sudah menjadi guru selama puluhan tahun. Ia mengaku awal menjadi guru pada 1988. Namun, empat tahun kemudian ia memutuskan untuk bekerja di sebuah perusahaan untuk mencari penghasilan yang lebih baik.
Bekerja di perusahaan ternyata tak membuatnya bahagia, meski penghasilannya memuaskan. Alhasil, pada 2003, Sutardi memutuskan kembali menjadi guru meski berstatus honorer.
Upahnya dari profesi guru yang ia lakoni saat ini hanya sekitar Rp 250 ribu per bulan. Uang itu tentu tak bisa menghidupi keluarganya. Karenanya, ia masih harus membuka usaha jahit untuk mendapatkan penghasilan tambahan.
Berdasarkan data Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Tasikmalaya, kuota guru PPPK yang dibuka dalam seleksi kali ini hanya sekitar 984 formasi. Sementara jumlah pendaftar mencapai sekitar 3.614 orang.