REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Otorits Israel menegaskan penolakannya atas rencana Amerika Serikat (AS) membuka kembali konsulatnya untuk Palestina di Yerusalem. Menurut Tel Aviv, langkah semacam itu membutuhkan izin dari mereka.
“Tidak mungkin, tidak mungkin. Itu membutuhkan persetujuan Israel,” kata Menteri Kehakiman Israel Gideon Saar saat ditanya Jerusalem Post tentang apakah pembukaan konsulat AS untuk Palestina bakal dilanjutkan, Selasa (12/10).
Kedutaan Besar AS untuk Israel di Yerusalem belum memberi komentar resmi terkait hal tersebut. Namun isu itu kemungkinan akan dibahas saat Menteri Luar Negeri Israel Yair Lapid mengunjungi Washington pada Selasa.
Sebelumnya Lapid pun telah menyuarakan penolakan atas rencana AS membuka kembali konsulatnya untuk Palestina di Yerusalem. "Kami pikir itu ide yang buruk dan kami telah memberi tahu Amerika bahwa kami rasa itu ide yang buruk," kata Lapid pada 1 September lalu.
Lapid berpendapat, langkah AS membuka kembali konsulatnya untuk Palestina di Yerusalem Timur akan mengirim pesan keliru. "Tidak hanya ke kawasan, tidak hanya ke Palestina, tapi juga ke negara lain. Kami tidak ingin ini terjadi," ujarnya.
Dia memperingatkan, kabinet Israel saat ini memiliki struktur yang sensitif. Jika AS mengambil langkah semacam itu untuk Palestina, hal tersebut berpotensi memecah pemerintahan Israel. Pemerintahan Israel saat ini terbentuk atas koalisi dari partai-partai ekstrem kanan, tengah, kiri, dan Arab.
Pada Desember 2017, AS, di bawah pemerintahan mantan presiden Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. AS menjadi negara pertama di dunia yang memberi pengakuan semacam itu. Pada Mei 2018, Washington memindahkan kedutaan besarnya untuk Israel ke Yerusalem.
Di tahun yang sama, pemerintahan Trump menutup konsulat AS untuk Palestina di Yerusalem Timur. Serangkain langkah tersebut sempat memicu ketegangan, tak hanya di Tepi Barat, tapi juga Jalur Gaza.