REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Paparan bahan kimia sintetis yang disebut phthalates dapat menyebabkan sekitar 100 ribu kematian dini setiap tahunnya, di antara individu lansia di Amerika. Ironisnya, phthalates yang dipakai agar membuat plastik lebih fleksibel, ditemukan di ratusan produk seperti kosmetik, detergen, kemasan makanan, sabun, sampo dan lain-lain.
Fakta itu berdasarkan pada sebuah studi baru yang diterbitkan di jurnal Environmental Pollution. Menurut studi, bahan kimia tersebut diketahui mengganggu sistem hormonal tubuh manusia. Gangguan sistem endokrin telah dikaitkan dengan masalah reproduksi, otak, imunitas, dan masalah kesehatan lainnya.
National Institute of Environmental Health Science menilai, potensi masalah kesehatan pada manusia yang terkait phthalates kian kompleks, mengingat banyak individu yang juga terpapar pengganggu sistem endokrin pada saat bersamaan.
Studi terbaru ini dipimpin peneliti di New York University Grossman School of Medicine. Menurut catatan mereka, phthalatest dapat dikaitkan dengan 91 ribu dan 107 ribu kematian dini di AS di antara orang dewasa berusia 55 hingga 64 tahun. Studi ini memperkirakan kematian dapat merugikan negara antara 40-47 miliar dolar AS per tahun.
Para peneliti menganalisis data dari 5.000 orang dewasa berusia antara 55 dan 64 tahun yang berpartisipasi dalam Survei Kesehatan dan Gizi Nasional dari tahun 2001 hingga 2010. Peserta memberikan sampel urin sehingga kadar phthalates mereka dapat diukur. Analisis ini juga melibatkan mereka yang penyebab kematiannya telah dilacak hingga tahun 2015.
Studi ini menemukan mereka yang memiliki kadar phthalates lebih tinggi, lebih mungkin meninggal lebih dini karena sebab apa pun, terutama karena masalah jantung.
"Temuan kami mengungkapkan bahwa peningkatan paparan phthalates terkait dengan kematian dini, terutama karena penyakit jantung," kata Leonardo Trasande, penulis utama studi tersebut, dalam sebuah pernyataan.
“Sampai sekarang, kami telah memahami bahwa bahan kimia berhubungan dengan penyakit jantung, dan penyakit jantung pada gilirannya jadi penyebab utama kematian,” kata Trasande seperti dilansir dari The Hill, Kamis (14/10).
Bagaimanapun, penelitian lanjutan di masa depan penting untuk menguatkan simpulan dari penelitian. Atas dasar itulah, peneliti mendorong lebih banyak penelitian tentang masalah ini.
Baca juga : Squid Game Jadi Serial Terpopuler di Netflix