REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pengamat Sosial Universitas Nasional (Unas) Nia Elvina menyoroti tren mengemis yang marak terjadi di tengah pandemi. Menurut dia, berkembangnya fenomena mengemis karena masyarakat menilai belum terlaksananya tanggung jawab negara.
Nia mengacu pada pasal 34 ayat 1 Undang-Undang Dasar (UUD) yang berbunyi "Kewajiban negara untuk memelihara fakir miskin dan anak terlantar."
Dari data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah masyarakat miskin di Indonesia meningkat secara signifkan ketika pandemi Covid-19. "Ini terjadi saat negara kurang memberikan lapangan pekerjaan untuk kelas menengah ke bawah dan banyak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) selama pandemi," kata Nia kepada Republika.co.id, Kamis (14/10).
Akibat semua faktor itu, masyarakat melegalkan segala cara untuk memenuhi kebutuhan dasar sehingga berkembang fenomena mengemis atau tindakan kriminal. Dalam hal ini, beberapa publik figur memanfaatkan fenemona ini untuk membuat konten, seperti tren ikoy-ikoyan atau konten "bersedekah."
Nia menyebut, saat kebutuhan dasar masyarat tidak terpenuhi, mereka akan cenderung mengabaikan moralitas dan tidak mempersoalkan tindakan yang dinilai mengemis. "Bagi masyarakat, moralitas atau rasa malu mengemis atau yang lain sudah menjadi tidak perhatian. Karena perhatian mereka berfokus pada bagaimana memenuhi kebutuhan pokok untuk hidup atau makan," ujar dia.
Lebih lanjut, Nia mengatakan untuk menangani fenomena ini, pemerintah harus lebih berkontribusi. Misal, mengevaluasi program bantuan yang diberikan. Jika masih memberikan dampak yang signifikan, bantuan sosial yang ada saat ini harus digabungkan dengan upaya mewujudkan pasal 34.
"Dalam upaya ini juga harus dikaitkan dengan demokrasi ekonomi ala Pancasila. Mensejahterakan masyarakat kelas bawah harus menjadi selalu prioritas pengelola negara ini," tambah dia.