REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ada beberapa kasus di mana individu yang telah vaksinasi lengkap terkena Covid-19. Situasi ini kerap membuat orang yang telah menerima vaksin bertanya-tanya apakah mereka memiliki imunitas terhadap Covid-19 atau tidak.
Sebagian orang kemudian mempertimbangkan tes antibodi untuk mengetahui imunitas Covid-19 yang mereka miliki pascavaksinasi. Akan tetapi, cara ini ternyata tidak direkomendasikan oleh Food and Drug Administration (FDA).
Tes antibodi dikenal juga sebagai tes serologi. Tes ini sebenarnya membutuhkan resep atau anjuran dari dokter. Tes antibodi merupakan tes darah yang bertujuan untuk mendeteksi keberadaan antibodi SARS-CoV-2 pada aliran darah.
Antibodi merupakan molekul protein yang diproduksi oleh sistem imun ketika tubuh melawan patogen atau menjalani vaksinasi. Keberadaan antibodi ini dapat membantu memberikan perlindungan bagi tubuh bila terpapar oleh patogen di kemudian hari.
Tak hanya itu, antibodi di dalam tubuh juga dapat membantu menurunkan tingkat keparahan gejala dalam kasus reinfeksi. Biasanya, tes antibodi digunakan untuk melakukan mencari bukti mengenai infeksi di masa lalu, atau untuk mengukur kesiapan tubuh dalam melawan virus tertentu.
Tes antibodi yang tersedia secara komersil saat ini dapat mengukur dua jenis antibodi, yaitu antibodi spike protein dan antibodi nukleokapsid. Dekan School of Global Public Health dari New York University Dr Cheryl G Healton DrPH mengatakan tes antibodi tak dapat digunakan untuk mengetahui apakah vaksin Covid-19 di dalam tubuh masih bekerja atau tidak.
Mengacu pada Centers for Disease Control and Prevention (CDC), Dr Healton mengatakan tes antibodi saat ini tak direkomendasikan untuk mengukur imunitas yang terbentuk setelah vaksinasi Covid-19. Alasannya, tes ini tidak begitu akurat dalam mengukur proteksi terhadap Covid-19.
Secara teori, hasil positif dari pemeriksaan antibodi spike protein dapat berarti bahwa vaksin bekerja. Akan tetapi, hasil tes tak dapat menunjukkan seberapa besar antibodi yang dihasilkan. Dengan kata lain, hasil tes ini tak dapat menunjukkan seberapa besar perlindungan yang telah terbentuk dari vaksinasi.
Profesor di bidang penyakit menular dari Vanderbilt University Medical Center di Nashville, Dr William Schaffner MD, menambahkan suatu tes sebaiknya tak dilakukan kecuali seseorang yang melakukan tes tahu apa yang harus dilakukan dengan hasil positif atau negatif yang dia terima.
"Dalam hal tes antibodi, hasilnya tak bisa diinterpretasikan, inilah kenapa kami tak merekomendasikannya," ungkap Dr Schaffner.
Hasil tes antibodi juga tak dapat menunjukkan apakah seseorang sedang terkena Covid-19 atau tidak. Alasannya, tes antibodi membutuhkan waktu sekitar 1-3 pekan setelah infeksi untuk bisa mendeteksi antibodi virus. Oleh karena itu, tes antibodi tak dapat digunakan untuk mendiagnosis Covid-19.
Terlepas dari itu, tes antibodi dapat bermanfaat untuk kondisi tertentu. Misalnya untuk urusan penelitian klinis atau ketika penyedia layanan kesehatan ingin mengetahui apakah seorang pasien pernah terinfeksi Covid-19 sebelumnya.
"Tes antibodi positif tidak dapat menjadi pengganti untuk vaksinasi," jelas Dr Healton.