REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kuliah Peradaban II yang digelar di Gedung Pusat Dakwah Dewan Pengurus Pusat (DPP) Hidayatullah Jakarta menyoroti persatuan umat dan pentingnya umat Islam menguasai ekonomi.
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Hidayatullah, KH Dr Nashirul Haq mengatakan, umat Islam dewasa ini menghadapi tantangan persatuan yang tidak ringan di tengah berbagai gempuran upaya adu domba antarsesama.
“Umat Islam menghadapi kondisi yang tidak menguntungkan barangkali, tidak solid. Dan memang itulah tantangannya,” kata ustadz yang karib disapa UNH ini dalam acara Kuliah Peradaban mengangkat topik “Peran Umat Islam Membangun NKRI Dulu, Sekarang, dan Besok”, yang digelar secara hibryd dan disiarkan secara langsung di channel Hidayatullah ID, Selasa, 26 Rabiul Awal 1443 (2/10).
UNH menyampaikan itu seraya menukil hadits masyhur yang menceritakan dialog Nabi dengan para sahabatnya. Diuraikan UNH, ketika itu, Nabi bertanya kepada sahabat sahabatnya, “Idza futihat ‘alaikum faris warrum fa ayyu kaumin antum (kalau kalian sudah menaklukkan Persia dan Romawi, kalian mau menjadi umat seperti apa?”
Kemudian, salah seorang sahabat, Abdurrahman bin Auf, menjawab “nakulu kama amarnallah” (tentu kami akan tetap setia dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya). Namun, yang mengagetkan, Nabi menimpali jawaban Abdurrahman itu dengan mengatakan “awa ghairu zalik” (jangan-jangan tidak demikian).
Lantas Nabi melanjutkan dengan menyampaikan kekhawatirannya, yaitu jangan-jangan setelah menang malah menjadi umat yang berlomba-lomba mendapatkan jabatan dan materi (tatanafasun), kemudian di antara sesamanya saling hasad, iri, dan dengki (tsumma tatahasadun), kemudian saling membenci (tsumma tatabaghadun), lalu kemudian saling membelakangi (tsumma tatadabarun).
“Memang ini ujian dari Allah dan itu tampaknya sudah menjadi sunnatullah. Makanya, umat Islam yang sangat besar jumlahnya di Indonesia saat sekarang ini tidak memiliki peran yang signifikan,” katanya seperti dikutip dalam rilis yang diterima Republika.co.id.
Oleh karena lekatnya kecintaan pada dunia, akhirnya umat Islam menjadi bulan-bulanan sebagaimana yang ditamsilkan oleh Nabi dalam salah satu haditsnya bahwa umat Islam akan diperebutkan seperti makanan di atas meja padahal jumlahnya dominan.
“Allah akan mencabut rasa takut dan segan, musuh-musuh kalian kepada kalian. Karena kalian terkena al-wahn, hubbud dunya wa karahiyatul maut. Jadi, cinta dunia ini yang membuat persatuan umat ini menjadi terganggu,” imbuhnya.
UNH mengatakan, umat kian menyadari pentingnya persatuan di mana sekarang ini hampir semua ormas mengusung tema al-wasathiyah, “tentang bagaimana kita mementingkan kepentingan umat yang lebih besar dibanding kepentingan diri dan golongan.”
Di sisi yang lain, UNH mengemukakan masalah keumatan lainnya di mana sekarang ini ada upaya menghilangkan peran umat Islam dalam buku sejarah yang didesain sedemikian rupa diduga ingin menghilangkan peran umat Islam.
Sementara itu, narasumber lainnya, Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Dr KH Anwar Abbas mendorong umat Islam memiliki ketangguhan ekonomi dengan membangun mentalitas kemandirian (entrepreneurship mentality). Sebab, dengan menguasai kapital, umat Islam akan menjadi penentu.
Buya Anwar mengingatkan bagaimana umat Islam Indonesia yang mayoritas tak punya kuasa langsung menentukan nasib bangsa dan negara.
“Yang menjadi penentu (arah bangsa) adalah yang menguasai sumber daya material di Indonesia. Kita saat ini mayoritas, namun bukanlah penentu,” ujar Buya Anwar.
Buya Anwar mengingatkan bahwa peradaban berkaitan erat dengan kemajuan. Dia juga memnyampaikan terjemah Alquran bahwa “Era (kekuasaan) itu akan Allah pergulirkan di antara manusia”.
“Tidak akan ada satu bangsa yang mampu mempertahankan kekuasaannya selama-lamanya,” ungkapnya.
Anwar Abbas mengungkap bahwa menurut prediksi pakar, pada tahun 2040/2050, Indonesia akan menjadi negara maju dengan penghasilan bruto tertinggi keempat di dunia. “Yang menjadi pertanyaannya, ketika negeri ini menjadi negara maju siapa yang akan menjadi penentu,” ujarnya
12 Posisi Strategis
Buya Anwar juga menyebut bahwa kontribusi umat Islam bagi bangsa ini bisa dilihat dari 12 posisi strategisnya: agamawan, cendekiawan, politisi, pengusaha, birokrat, jurnalis, professional, pendidik, pekerja sosial, budayawan, tentara/polisi, yuridikatif.
“Kedua belasnya adalah penentu ritme kehidupan kita berbangsa. Semuanya di tangan umat, tapi kenapa kita tak bisa menjadi penentu, karena ada satu posisi yang tidak kita tempati, yakni pengusaha,” papar Buya Anwar yang juga salah satu ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah tersebut.
Buya Anwar mengingatkan bahwa yang menjadi penentu adalah yang menguasai sumber daya material di Indonesia.
“Jumlah etnis Tionghoa hanya 3 persen tapi merekalah yang menjadi penentu. Mereka menguasai kapital dan kemudian dapat menguasai politik,” ungkapnya.
Oleh karena itu, menurut Buya Anwar, umt Islam perlu belajar kepada orang Tionghoa yang dikenal punya etos kerja tanpa harus jauh jauh belajar ke negeri Cina. Ia pun mendorong umat Islam harus menghijrahkan mentalitas, “dari mental pekerja menjadi mental pengusaha”.
“Sulit bagi kita untuk memajukan bangsa ini selama generasi kita tak memiliki mentalitas pengusaha. Negara tak bisa maju jika tak ada uang. Pendidikan kita tak mengajarkan bagaimana cara mendapatkan uang itu,” imbuhnya.
Buya Anwar pun berharap agar umat Islam segera mengambil langkah agar bisa menjadi penentu saat Indonesia menjadi negara maju. Untuk itu, dia menasehatkan agar membiasakan anak didik untuk berbisnis.