Pertemuan Perubahan Iklim atau COP tahun ini sangat menarik perhatian, karena dianggap sebagai kesempatan terbaik untuk menghentikan pemanasan global.
Jika Anda tidak sempat mengikuti konferensi ini, berikut rangkuman dari pertemuan sedang digelar di Glasgow sampai pekan depan.
- Mengapa pertemuan kali ini disebut sebagai kesempatan terbaik?
- Apa yang menjadi target dunia?
- Apakah ada harapan dari pertemuan ini?
- Bagaimana sikap Indonesia?
- Negara mana saja yang berjanji menghapus energi bertenaga batu bara?
Mengapa disebut sebagai kesempatan terbaik?
Sebelumnya, kita bahas terlebih dahulu apa itu pertemuan Conference of Parties, atau lebih dikenal dengan sebutan COP.
Istilah 'parties' di sini merujuk pada pihak-pihak yang menandatangani Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB.
COP digelar setiap tahunnya untuk mengimplementasikan Perjanjian Paris di tahun 2015, yakni sebuah perjanjian dari sejumlah negara untuk setuju ikut serta berkontribusi dalam memperlambat kenaikan suhu global.
Target harus tercapai setiap lima tahun sekali, namun tahun lalu pertemuan ini dibatalkan karena pandemi COVID-19.
Karenanya tahun ini menjadi waktu yang terbaik untuk kembali membuat target baru yang lebih ambisius, karena sepertinya negara-negara masih belum jelas untuk mengambil aksi nyata.
"Ini benar-benar akan jadi ujian nyata pertama kalinya bagi negara-negara, apakah mekanisme ambisi tersebut akan berhasil atau tidak," kata Bill Hare, Direktur Eksekutif dari lembaga Climate Analytics kepada ABC.
Apa yang menjadi target dunia?
Sebelum COP ke 26 digelar, panel antar-pemerintah tentang perubahan iklim di PBB mengeluarkan peringatan keras pada bulan Agustus lalu..
Mereka menemukan suhu dunia akan naik sebesar 1,5 derajat Celsius sekitar tahun 2030.
Artinya kita hanya memiliki waktu kurang dari satu dekade.
Jika negara-negara tidak bertindak nyata sekarang, yakni dengan mengurangi emisi karbon, kita tidak akan mencapai batas 1,5 derajat Celsius.
Tak hanya itu, upaya kita untuk menjaga suhu dunia tinggi pun akan semakin sulit.
Menurut PBB, jika kita berhasil melakukannya maka suhu dunia akan naik 2,7 derajat Celsius pada akhir abad nanti.
Apakah ada harapan dari pertemuan ini?
Banyak pihak menyebutkan jika COP26 telah gagal bahkan sebelum pertemuan dimulai, karena pada pertemuan negara-negara G20 di Roma, yang juga diikuti Indonesia, dianggap gagal membuat komitmen kuat.
Tapi dalam pernyataan bersama, negara-negara sepakat jika pembangkit energi bertenaga batu bara adalah satu-satunya penyebab terbesar kenaikan suhu global.
Mereka mengatakan berkomitmen untuk bekerja sama, salah satunya dalam membuat “energi bersih” yang lebih terjangkau dan bisa diakses secara global.
Bagaimana sikap Indonesia?
Dalam pidatonya pada COP26, Presiden Joko Widodo mengatakan seiring dengan potensi alam yang besar, Indonesia terus berkontribusi dalam penanganan perubahan iklim.
"Laju deforestasi turun signifikan, terendah dalam 20 tahun terakhir. Kebakaran hutan turun 82 persen pada 2020," tutur Presiden Jokowi.
Ia juga mengatakajn Indonesia sudah memulai rehabilitasi hutan mangrove seluas 600.000 hektare sampai tahun 2024, yang merupakan rehabilitasi mangrove yang terluas di dunia.
Selain itu, Indonesia mengaku telah merehabilitasi 3 juta lahan kritis antara 2010-2019.
Sementara itu pada sektor energi, Indonesia tengah mengembangkan ekosistem mobil listrik, membangun pembangkit tenaga surya terbesar di Asia Tenggara, serta industri berbasis energi bersih, di antaranya kawasan industri hijau terbesar di dunia di Kalimantan Utara.
Namun, Indonesia perlu “dukungan dan kontribusi dari negara-negara maju.”
"Indonesia akan dapat berkontribusi lebih cepat bagi net-zero emission dunia. Pertanyaannya, seberapa besar kontribusi negara maju untuk kami? Transfer teknologi apa yang bisa diberikan? Program apa yang didukung untuk pencapaian target SDGs yang terhambat akibat pandemi?" ujar Jokowi.
Menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), pidato yang disampaikan Presiden Jokowi di KTT COP26 telah menunjukkan tidak ada hal yang baru dari sikap Indonesia.
WALHI menilai pesan yang disampaikan Presiden Jokowi sejak pertemuan G20 juga senada: mendorong tanggung jawab pendanaan negara-negara maju dan "jualan utang".
Sikap Indonesia di COP26 juga dipertanyakan banyak pihak, termasuk dari luar negeri, setelah Menteri Lingkungan Hidup Siti Nurbaya Bakar menulis unggahan di akun Twitter-nya.
"Pembangunan besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi," tulisnya, Rabu kemarin.
Ia merasa "memaksa Indonesia untuk zero deforestation di tahun 2030 tidak tepat dan tidak adil".
Sementara wakil menteri luar negeri RI, Mahendra Siregar, telah membantah jika 'zero deforestation' di tahun 2030 merupakan bagian dari janji yang disepakati dalam COP26.
Kepada kantor berita Reuters, Mahendra mengatakan Indonesia menafsirkan "menghentikan dan memulihkan hutan yang hilang dan degradasi lahan pada tahun 2030", sebagaimana dinyatakan dalam janji tersebut, yakni "pengelolaan hutan berkelanjutan ... bukan mengakhiri deforestasi pada tahun 2030".
Negara mana saja yang berjanji menghapus energi bertenaga batu bara?
Perjanjian yang ditandatangani kemarin berkomitmen untuk menghindari investasi di pembangkit batu bara baru, baik di dalam maupun di luar negeri.
Inggris, sebagai tuan rumah COP26, sepakat menghapus pembangkit listrik berbahan bakar batu bara pada tahun 2030.
Indonesia merupakan pengekspor batu bara terbesar di dunia, yang juga penghasil gas rumah kaca terbesar kedelapan, 65 persen diantaranya berasal dari batu bara.
Dari empat poin yang dihasilkan pertemuan COP26, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Arifin Tasrif, mendukung poin-poin tersebut, kecuali poin ketiga.
Tetapi Indonesia menyatakan akan mempertimbangkan mempercepat penghentian penggunaan batu bara sekitar tahun 2040-an untuk bisa tetap mencapai emisi nol di tahun 2060.
Tercatat setidaknya 47 negara telah menandatangani hasil dari COP26 ini, meski ada beberapa negara yang tidak mendukung semua poin yang dihasilkan, seperti Indonesia, Filipina, dan Kazakhstan.
Beberapa negara yang bergantung pada batu bara termasuk Australia, India, China dan Amerika Serikat tidak menandatangani komitmen tersebut.
Artikel ini diproduksi Erwin Renaldi dan Hellena Souisa