REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ridwan Saidi, Politisi Senior, Sejarawan, Budayawan Betawi.
Sartono Kartodirdjo keliru menyebut pemberontakan petani melawan Belanda, untuk babakan sejarah 1859-1926. Itu adalah seri pemberontakan dengan tema penindasan petani oleh Belanda dengan pimpinan perlawanan para guru tarekat.
Pemicu pemberontakan guru tarekat ini adalah Ahmad Rifangi 1859 di Pekalongan. Sejak itu selama 67 tahun Jawa tak sunyi dari pemberontakan. Guru-guru Tarekat seperti Rama Ratujaya pimpin pemberontakan Tambun pada 1869.
Asisten Residen dan tiga lainnya terbumuh. Rama sendiri terbunuh. Sebanyak 33 orang pelaku pemberontakan ditangkap dan dijatuhi hukuman mati yang eksekusinya di lapangan Mester. Kloter pertama 11 orang digantung. 22 menunggu.
Ketika 11 jenasah dipindahkan, datang utusan Gubernur Jenderal ke lapangan ekskusi. Ia langsung membaca surat Ratu Belanda yang baru saja tiba. Isinya, hukum mati tak boleh dilakukan lagi. Kasian yang 11 orang itu.
Guru tarekat bernama Cing Sairin yang orang Cawang malah mengilhami tiga pemberontakan: Ciomas, Condet, dan Tana Tinggi. Cing Sairin mendirikan basis di Jembatan Lima, Jakarta Barat pada awal XX M, yang terkenal sebagai Kontingen Jembatan Lima.
Pemberontakan Condet 1916 yang dipimpin Entong Gendut paling aneh dalam sejarah. Pemberontakan diawali malam harinya dengan gelar Topeng Betawi di depan rumah Lady Rollinson pemilik tanah Cililitan Besar. Topeng Betawi bawa lakon kejahatan Tuan Tanah.
Dalam pemberontakan esok harinya banyak Belanda mati. Entong Gendut juga syahid.
Baca juga : Kasus Dokter Pro Ivermectin Berujung Pengunduran Diri
Nama yang lainm juga ada Kayin bapa (bin) Kayah. Dia seorang dalang wayang kulit Betawi. Entah mengapa ia memutuskan meninggalkan Tangerang dan gabung dengan Kontingen Jembatan Lima.
Kiyin sendiri wafat ditembak di Kampung Mauk.
Tokoh pemberontak Banten tahun 1926 itu bernama Alipan. Dia bukan komunis. Pada era merdeka Alipan tokoh partai IP-KI.Alipan pimpin perlawanan petani Banten lawan Belanda.
Di sini semua belajar bahwa ruh sejarah tak dapat ditangkap kalau isinya kerajaan-kerajaan saja. Apalagi banyak kerajaan fiktif dengan dasar prasasti-prasasti yang mereka tak dapat bedakan bahasa Armen dan Sanskrit, bahasa Khmer-Hind, dan Sanskrit.