Senin 22 Nov 2021 17:51 WIB

Solskjaer dan Bisnis Keluarga Glazer

Solskjaer adalah korban sepak bola di era bisnis.

Ole Gunnar Solksjaer dipecat manajemen MU, Foto Solksjaer (ilustrasi)
Foto: AP Photo/Matt Dunham
Ole Gunnar Solksjaer dipecat manajemen MU, Foto Solksjaer (ilustrasi)

Oleh : Mohammad Akbar, Redaktur Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Dalam industri sepak bola modern, kemenangan adalah dewa. Tidak bisa memberikan kemenangan, maka prestasi terdahulu maupun pamor mentereng tak bisa menjadi jaminan untuk mempertahankan posisinya. Setidaknya kondisi inilah yang dialami oleh Ole Gunnar Solskjaer.

Setelah musim lalu membawa Manchester United (MU) sebagai runner-up Liga Inggris serta menjadi finalis Liga Europa, semua itu sempat memantik kepercayaan manajemen klub Setan Merah untuk menyodorkan perpanjangan kontrak kepada Solskjaer hingga 2024.

Namun, kurang dari tiga bulan setelah mendapat perpanjangan kontrak, nasib Solksjaer seperti berubah 180 derajat. Hasil rapat darurat berdurasi lima jam pada akhirnya memutuskan bahwa manajemen klub sudah tak kuasa mempertahankan kerja samanya dengan Solksjaer.

Namun, dalam ulasan kali ini, pendekatan yang hendak ditelaah bukan lagi pada hasil dari lapangan hijau yang telah dan akan diraih oleh MU. Lebih dari itu, telaah yang hendak diulas adalah bagaimana melihat ikhtiar manajemen klub untuk melepaskan dirinya dari situasi krisis ini.

Dari kajian komunikasi krisis, salah satu dampak yang harus diwaspadai adalah stabilitas finansial (financial stability). Ketika sisi bisnis dan finansial sebuah brand—dalam hal ini adalah Manchester United sebagai brand olahraga terkemuka dunia—mulai terganggu, keputusan manajemen klub untuk memecat Solskjaer bisa dimaklumi.

Dalam laporan dari laman resmi klub yang dirilis pada September silam, klub milik keluarga Glazer ini secara faktual memang sedang berada dalam gangguan finansial. Data yang dirilis mengungkapkan adanya kerugian operasional senilai 36,9 juta pounds (Rp 719,55 miliar) dalam periode 12 bulan yang berakhir pada 30 Juni 2021. Raihan rugi operasional itu berbanding terbalik dari posisi tahun lalu yang mencatatkan laba operasional sebesar 5,2 juta pounds (Rp 101,40 miliar).

Kerugian operasional itu makin diperburuk dengan pendapatan MU yang merosot 2,9 persen dari 509 juta pounds (Rp 9,93 triliun) juta per periode 12 bulan yang berakhir pada Juni 2020 menjadi 494,1 juta pounds (Rp 9,63 triliun) pada periode yang sama 2021. Besaran penurunan pendapatan itu di antaranya berasal dari tiket pertandingan (turun 92,09 persen) serta pendapatan dari iklan komersial (turun 16,8 persen).

Ketika krisis finansial menjadi hal yang sangat nyata, MU juga menghadapi opini publik yang meminta manajemen agar segera mencari pengganti Solskjaer. Tagar #OleOut telah menjadi sentimen negatif buat reputasi dan citra klub. Kekalahan memalukan dari rival beratnya, Liverpool, dengan skor 5-0 di Liga Inggris menjadi salah satu pemicu mengudaranya kembali tagar #OleOut pada musim ini.

Meski tagar #OleOut sempat mereda, belakangan deretan hasil buruk yang didapat oleh skuad besutan Solskjaer telah membuat pihak manajemen menjadi makin tak berdaya. Di sinilah krisis komunikasi terjadi. Ketika sentimen publik yang terus negatif tidak lekas ditangani, potensi kerugian finansial bisa saja semakin dalam yang pada akhirnya dapat memperburuk reputasi dan citra MU secara global.

Secara teoritis, untuk bisa keluar dari krisis, pihak manajemen harus melakukan isolasi masalahnya. Ketika persoalan finansial masih menjadi tantangan yang belum bisa dicarikan jalan keluarnya di tengah pandemi Covid-19 ini, sentimen negatif dari pihak external stakeholders harus bisa dicegah.

Di sinilah Solskjaer menjadi akar masalahnya. Deretan hasil minor yang didapat MU serta munculnya disharmoni di ruang ganti pemain dengan pelatih berpaspor Norwegia ini sudah seharusnya diisolasi dan diperbaiki. Tujuannya agar masalah itu tidak makin melebar.

Inilah industri sepak bola modern yang memang terkesan jahat. Industri ini pada akhirnya hanya melibat sisi pragmatisme berupa kemenangan. Sementara, aspek proses dengan cara memberikan kepercayaan penuh, seperti halnya Sir Alex Ferguson maupun Arsene Wenger yang pernah melatih klub masing-masing dalam rentang waktu panjang dengan fluktuasi prestasi yang didapat, sudah cenderung terabaikan pada era sekarang.  

Pada akhirnya menjadi wajar untuk memahami keputusan manajemen MU yang memilih memutus hubungan kerja dengan Solskjaer yang sebenarnya baru saja membubuhkan kontrak baru. Apa yang terjadi ini sejatinya telah membuktikan bahwa sepak bola adalah industri yang pada akhirnya bermuara pada kepentingan bisnis.

Untuk menjaga kelanggengan bisnis berkapital besar di industri sepak bola modern ini, kemenangan adalah jalan pintas yang harus diraih. Ketika kemenangan didapat, di sanalah akan hadir sejumlah gelar yang ujungnya menjadi pundi-pundi pemasukan buat sebuah klub. Ketika klub makin berprestasi, loyalitas fan akan semakin besar. Di sinilah aliran uang akan mengalir yang akhirnya membuat manajemen klub semakin tajir.

Jadi, selamat jalan Solskjaer. Terima kasih atas kontribusinya kepada MU dalam tiga tahun terakhir ini. Buat para penggemar, Solskjaer akan tetap dikenang sebagai pemain legenda meski saat menjadi pelatih ia menempatkan MU sebagai klub dhuafa prestasi dan gelar.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement