Jumat 03 Dec 2021 07:57 WIB

Keadilan Rizieq Shihab: Jalan Terjal Penegakan Hukum 2021

Selama tahun 2021 penegakan hukum penuh nuansa keganjilan kepada Habib Riziek

Habib Riziek tiba di Bandara Soekarno Hatta dengan isambut ribuan massa sepulang dari Arab Saudi beberapa waktu silam. (ilustrasi)
Foto: Anadolu Agancy
Habib Riziek tiba di Bandara Soekarno Hatta dengan isambut ribuan massa sepulang dari Arab Saudi beberapa waktu silam. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr. Ari Yusuf Amir, SH, MH, Praktisi Hukum.

Sepanjang 2021, kalender penegakan hukum di tanah air banyak diwarnai keganjilan yang menjauhkan hukum dari keadilan. Postulat Thomas Hobbes dalam Leviathan bahwa Hukum adalah entitas nurani publik pun dibuat nirmakna. Seakan kita lupa bahwa penegakan hukum yang tidak adil adalah bagian dari spesies kekerasan.

Tidak sulit mencari rujukan empirisnya, keganjilan-keganjilan itu tersaji dalam beberapa kasus. Baru-baru ini misalnya, seorang kakek bernama Kasmito (74 tahun) yang membela diri melawan pencuri yang mencoba menyerangnya dengan alat strum ikan, justru dituntut dua tahun bui. Padahal dalam KUHP Pasal 49 ayat (1) secara terang diatur “Barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena ada serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain; terhadap kehormatan kesusilaan (eerbaarheid) atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana”.

Tak kalah pilu, seorang Ibu dua anak di Karawang yang memarahi suaminya karena sering mabuk-mabukan juga dituntut 1 (satu) tahun penjara. Banyak pihak mengecam tuntutan JPU dalam kasus tersebut. Atas nama positivisme JPU mengesampingkan aspek keadilan dan kemanfaatan dalam hukum. Nurani JPU sebagai penegak hukum dipertanyakan. Mereka seperti amnesia terhadap konsep keadilan restoratif (restorative justice) yang berorientasi pada perdamaian kedua belah pihak tanpa harus melalui proses peradilan. Meski kasus ini kini ditangani oleh Kejaksaan Agung setelah menjadi perhatian publik, tetapi kasus ini terlanjur menggores luka dan trauma, khususnya bagi terdakwa yang jauh dari layak untuk duduk di kursi pesakitan.        

Wajah penegakan hukum di tanah air juga kental dengan aroma balas dendam politik. Seperti yang dialami oleh Habib Rizieq Shibab (HRS), tokoh ummat Islam yang dikenal vokal dan seringkali berseberangan dengan rezim penguasa.  Ia divonis oleh Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur dan juga dikuatkan oleh Putusan Banding 4 tahun penjara atas kasus swab test RS UMMI.  Majelis hakim menganggap bahwa pernyataan Rizieq saat menyatakan dirinya sehat ketika dirawat di RS UMMI Bogor pada November 2020 merupakan kebohongan karena hasil tes swab PCR-nya terkonfirmasi Covid-19.

Majelis hakim mendasarkan vonisnya pada Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 yang menyatakan: Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.

Padahal dalam pasal aquo terdapat unsur kunci yakni "menerbitkan keonaran". Sementara, tidak ada keonaran di kalangan masyarakat pascaperbuatan HRS. Keonaran bila diartikan secara gramatikal adalah kondisi chaos sehingga terjadi kegaduhan di tengah masyarakat. 

Vonis tersebut jelas terlalu tinggi dan tidak sesuai dengan perbuatan yang dilakukan HRS. Bandingkan dengan beberapa kasus sejenis yang banyak tidak diproses. Atau bandingkan dengan kasus Pinangki terkait tindak pidana suap, pencucian uang, dan permufakatan jahat dalam perkara terpidana korupsi hak tagih Bank Bali, Djoko S. Tjandra. Di pengadilan Tipikor dihukum 10 tahun, tetapi ditingkat banding disunat menjadi 4 tahun. Jaksa bahkan memutuskan untuk tidak mengajukan kasasi.  

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement