REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Ronggo Astungkoro/Jurnalis Republika
Terbit untuk pertama kali pada 4 Desember 1971, majalah Prisma pada Sabtu, 4 Desember 2021, sudah hidup selama setengah abad lamanya. Sejak awal kelahiran hingga usia emasnya, majalah yang menjadi asupan gizi bagi para intelektual terus merekam segala jejak persoalan yang terjadi di bangsa dan negeri.
Pendiri majalah Prisma, Ismid Hadad, mengisahkan awal mula keberadaan majalah yang sempat mati suri pada 1998 hingga 2009 itu. Prisma dapat dikatakan sebagai cucu dari perhimpunan Bineksos, yang kini dia ketuai, dan anak dari lembaga swadaya masyarakat Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES).
Pria berusia 81 tahun itu menerangkan, Bineksos lahir pada awal 1971. Setelah lahir, perhimpunan itu melaksanakan perjanjian kerja sama dengan yayasan non pemerintah Jerman pada Agustus 1971 untuk melahirkan LP3ES yang menjadi lembaga pelaksana kegiatan Bineksos.
"LP3ES itu punya tiga jenis program, ada program penelitian, ada pendidikan, dan ada bidang namanya penerangan waktu itu. Istilah penerbitan ataupun publikasi itu dulu tidak terlalu populer, padahal maksudnya itu bidangnya penerbitan," ungkap Ismid dalam sambutannya pada Hari Ulang Tahun Emas Prisma yang digelar secara daring, Sabtu (4/12).
Di bidang penerbitan tersebut, selain menerbitkan buku-buku teks dan ilmu pengetahuan ekonomi-sosial, LP3ES juga merintis berdirinya institusi yang ketiga, yakni penerbitan majalah yang diberi nama Prisma. Prisma, kata Ismid, hadir sebagai suatu jurnal pemikiran besar ekonomi kala itu.
"Yang nomor perdananya itu seperti yang tadi disampaikan Bung Harwib (Harry Wibowo) terbit pada tanggal 4 desember 1971. Persis hari ini setengah abad yang lalu," kata dia.
Ismid mengatakan, dalam perjalannya dan sampai saat ini ketiganya berhasil masing-masing hidup sehat dan bahagia. Dia pun mengaku merasa bahagia dapat merayakan hari jadi yang ke-50 majalah Prisma.
"Meskipun lahir paling belakangan, yang namanya majalah Prisma itu justru lebih dikenal publik ketimbang bapak apalagi kakeknya," kata dia.
Banyak pertanyaan yang sampai di telinga Ismid soal rahasia yang dapat membuat Prisma mampu bertahan terbit dalam rentang waktu yang panjang, melewati pergantian rezim dan lintas generasi. Sebagai orang yang hadir dan ikut mengonsepkan majalah Prisma, Ismid mengungkapkan alasannya.
Di suatu waktu, Ismid mengusulkan untuk menerbitkan satu majalah berkala, tapi harus bisa menghindari pembredelan yang dilakukan pemerintah Orde Baru. Sebagai orang yang saat itu juga bekerja dan memimpin surat kabar Harian Kami, dia melihat banyak surat kabar yang mati karena dibredel.
"Kita ndak ingin ada pembredelan-pembredelan lagi karena pembredelan-pembredelan itu dilakukan khususnya untuk surat kabar harian yang selalu dibaca sama intel, oleh aparat penegak hukum. Nah saya terpikir, kalau saya bikin penerbitan biasa-biasa aja, dibaca intel lagi, nanti dibredel lagi," tutur Ismid.
Dari sana dia berpikir untuk membuat majalah atau media yang agak sedikit lebih canggih pada zaman itu. Lalu dia mengusulkan untuk membuat Jurnal Prisma. Majalah itu, kata dia terkesan seperti kaya media intelektual yang canggih dan berat, majalah yang dia sebut biasanya malas dibaca oleh intel.
"Intel males baca itu. Jadi selalu lewat lolos dari pembredelan. Dan betul lolosnya itu sampai 50 tahun," kata dia.
Selain itu, Ismid yang kala itu bukan akademisi, ilmuwan, ataupun peneliti merasa tidak cukup ilmu untuk mengedit tulisan-tulisan yang bersifat akademis dan ilmiah. Karena itu dia membuat Prisma dengan konsep sederhana, yaitu ilmu sosial dengan presentasi populer untuk diskusi kritis. Prisma, kata dia tidak dimaksudkan untuk menjadi majalah akademik atau ilmiah murni.
"Tapi adalah satu media dengan pendekatan jurnalistik seperti lazimnya fungsi suatu media komunikasi. Sehingga harus ditulis dengan gaya bahasa populer, mudah dipahami pembaca awan yang non ahli dan menerapkan prinsip seperti cover both sides," jelas Ismid.
Pendiri LP3ES dan Prisma lainnya, yakni Nono Anwar Makarim, juga memberikan sepatah dua patah kata pada kegiatan tersebut. Ketimbang mengutarakan hal-hal yang baik terkait Prisma, Nono lebih memilih untuk menyampaikan pesan yang harus diingat oleh punggawa Prisma saat ini dan ke depan.
"Ada tiga hal yang saya anggap penting sekali untuk kita terbitkan berkali-kali, artinya tidak hanya satu terbitan saja tapi lebih dari sekali," ungkap Nono.
Hal pertama yang menurutnya penting untuk dibahas oleh majalah Prisma ke depan adalah mengenai kekhawatiran atas apa yang akan terjadi dengan Indonesia 15 tahun yang akan datang. Banyak hal yang dapat dibahas mengenai hal itu, di antaranya mengenai kemampuan orang-orang Indonesia bersaing di dunia dan perkembangan pendidikan di Indonesia.
"Kekhawatiran ini patut kita dalami dan saya minta juga jangan terlalu takut dengan kontroversi. Kontroversi itu akan selalu ada. Tapi bisa mendalam, bisa juga datar. Saya harap you akan terus mendalam juga dan tidak takut," kata Nono.
Kemudian, hal kedua yang penting untuk dibahas juga adalah mengenai merosotnya daya beli para buruh Indonesia. Hal tersebut diungkapkan oleh seorang profesor bernama Gustav Papanek. Dia ingin persoalan tersebut didalami betul oleh majalah Prisma ke depan.
Lalu hal ketiga, yang Nono sebut membuatnya galau, sedih, dan marah, yakni mengenai apa yang dipikirkan oleh umat Islam tentang Indonesia sekarang ini. Terlebih, di kondisi masyarakat yang secara mayoritas kini terpecah belah dan tidak mempunyai satu suara utuh.
"Apa yang dipikirkan? Barusan itu demo. Mereka menuju ke monas, 212, berpakaian putih. Apa maunya? Negara islam? Mau mereka? Kalau mayoritas mau mengadakan, bisa. Tapi musti setuju semua. Mayoritas ini sekarang terpecah belah dan tidak dicapai (keinginan itu)," jelas Nono.
Tak Lekang Oleh Zaman
Redaktur Senior Prisma, Vedi R Hadiz, pada kesempatan itu menyampaikan, meskipun sempat absen sejak 1998 hingga 2009, Prisma tetap menjadi potret sejarah, sosial, politik, dan ekonomi Indonesia. Publik, kata dia, dapat mempelajari sejarah politik, sosial, dan ekonomi Indonesia selama 50 tahun terakhir dengan membaca Prisma.
"Lebih tepatnya orang dapat memahami perdebatan intelektual yang terjadi di Indonesia mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan dampak pembangunan, siapa yang akan menikmati hasil-hasil pembangunan, siapa yang secara tidak adil menikmati hasil-hasil pembangunan dan lain sebagainya," kata Vedi.
Vedi juga mengatakan, dia melihat bangkitnya Prisma dari mati suri bukanlah hasil dari reformasi secara langsung. Justru, kata dia, bangkitnya Prisma pada 2009 adalah hasil dari mulai menumpuknya kekecewaan terhadap reformasi itu sendiri. Karena itulah dia melihat sejak saat itu Prisma banyak menghasilkan karya yang mempertanyakan hasil reformasi.
"Ke mana sih hasil reformasinya itu? Ke mana arah demokrasi kita? Ke mana arah pembangunan kita, gimana masalah keadilan sosial yang dari dulu kita bicarakan? Apakah hal-hal ini diselesaikan oleh reformasi?" jelas Vedi.
Dia melihat, masalah-masalah yang ditangani penulis-penulis muda sekarang ini adalah masalah-masalah yang baru, tapi lama. Masalah demokrasi, keadilan sosial, kesetaraan gender, kehancuran lingkungan hidup, dan lain sebagainya adalah masalah-masalah yang sudah ada dari tahun 1970-an dan belum terselesaikan hingga saat ini.
"Jadi walaupun konteks berubah dalam banyak hal, masalah-masalah fundamental Indonesia ternyata masih sama. Di masa otoriterisme maupun di masa demokrasi. Menurut saya itu adalah sesuatu yang menarik dan sebetulnya diutarakan atau ditampilkan lewat sejarah Prisma," kata dia.
Senada dengan Vedi, Dosen Universitas Paramadina, Atnike N Sigiro, melihat Prisma secara alamiah selalu menemukan momentum di mana harus hidup dan menemukan, mengidentifikasi, dan merumuskan apa yang menjadi permasalahan sosial, ekonomi, dan politik di Indonesia. Hal itu berhasil Prisma dapatkan meskipun kemudian disadari persoalan yang ada masih tak jauh berbeda.
"Tapi menurut saya, Prisma terus mencatat adanya problem-problem yang tak kunjung selesai, bahkan semakin rumit. Itu sendiri sudah merupakan bagian dari pembentukan kesadaran kritis mengenai perjalanan Indonesia yang bisa dipotret oleh Prisma," kata Atnike.
Sementara itu, Kepala Program Penelitian LP3ES periode 1985-1989, Fachry Ali, melihat Prisma yang masih tetap ada adalah sesuatu yang sangat membanggakan di situasi saat ini. Fachry selama ini menganggap Prisma kian kehilangan audiensnya bukan karena berkurangnya intelektual Prisma, melainkan berkurangnya intelektual masyarakat secara keseluruhan.
"Prisma kini berada di dalam situasi di mana lingkungannya mengalami proses deintelektualisasi. Atau mungkin lebih tepat keterperangahan mereka terhadap kreasi intelektual semakin berkurang," jelas dia.
Selain iu, dia melihat lingkungan sosial politik saat ini adalah lingkungan para pembesar yang lahir melalui proses mobilitas vertikal dengan wahana partai politik. Karena itu dia menyebut sistem politik saat ini beratnya pada partai-partai politik. Di dalam proses itu, kata dia, yang terjadi adalah proses deintelektualisasi.
"Karena partai-partai politik itu sudah tampil mengambil posisi sebagai discourse creator. Merekalah yang menciptakan wacana-wacana yang kemudian sebagian besar generasi muda di Indonesia itu memimpikan posisi itu," terang Fachry.
Jika melihat di masa awal Orde Baru hingga 1980-an, kata dia, meski para penguasanya otoriter, kejam, atau menginjak kaki orang, posisi Prisma itu mendapatkan sesuatu yang dihormati oleh penguasa. Tapi pada dewasa ini, kata dia, yang terjadi justru para pengambil keputusan makin lama makin less intelectual yang semakin banyak direpoduksi oleh kekuasaan.