Rabu 15 Dec 2021 16:05 WIB

Cerita Pilunya Rakyat Korut Berjuang Menghadapi Kekurangan Pangan

Memasuki musim dingin kekurangan pangan makin dirasakan rakyat Korut

Rep: Fergi Nadira/ Red: Christiyaningsih
Seorang karyawan Toko Umum Bahan Makanan Kyonghung mendisinfeksi ruang pamer di Pyongyang, Korea Utara, Rabu, 10 November 2021. Memasuki musim dingin kekurangan pangan makin dirasakan rakyat Korut.
Foto: AP/Jon Chol Jin
Seorang karyawan Toko Umum Bahan Makanan Kyonghung mendisinfeksi ruang pamer di Pyongyang, Korea Utara, Rabu, 10 November 2021. Memasuki musim dingin kekurangan pangan makin dirasakan rakyat Korut.

REPUBLIKA.CO.ID, PYONGYANG - Penutupan perbatasan yang diberlakukan sendiri oleh Korea Utara (Korut) selama pandemi memperburuk krisis pangan negara tersebut. Terlebih, memasuki musim dingin, kekurangan makanan, persediaan obat-obatan, dan uang tunai melukai orang-orang rentan di negara yang memang sudah terisolasi sejak lama.

Musim dingin biasanya merupakan waktu tak menentu di negara yang masih berjuang dengan kekurangan makanan kronis. Para analis menilai kekhawatiran bertambah sepanjang tahun ini oleh karena penutupan perbatasan sejak 2020. Korut bahkan menutup perbatasan dengan mitra dagang pentingnya, China.

Baca Juga

Pada saat yang sama, pemimpin Korut Kim Jong-un telah memberlakukan langkah baru yang semakin membatasi aktivitas ekonomi internal. Sementara pemerintahnya terus meningkatkan kemajuan bidang militer hingga menguji peluncuran rudal.

Kim menekankan kemandirian negaranya selama krisis pangan yang berkepanjangan. Sikap itu juga menciptakan tantangan bagi mereka yang ingin melibatkan kembali Korut dalam pembicaraan denuklirisasi yang terhenti selama hampir tiga tahun.

Terdapat tanda-tanda bahwa Korut mungkin ingin membuka kembali perbatasannya dengan China. Namun, prospek untuk membawa Kim kembali ke negosiasi nuklir tetap tipis, terutama karena pemerintahan Amerika Serikat (AS) Joe Biden tidak menunjukkan sinyal memberikan keringanan sanksi yang dituntut Kim.

Mendesak Korut untuk membuka kembali ekonominya secara bertahap, Pelapor Khusus PBB Tomas Ojea Quintana menulis dalam laporan Oktober. "Akses masyarakat terhadap makanan adalah masalah serius dan anak-anak serta orang tua yang paling rentan berisiko kelaparan," katanya dikutip laman The Washington Post, Rabu (15/12).

Krisis Pangan yang Mencekik

Analis mengantisipasi hasil panen musim gugur ini tidak terlalu terpengaruh oleh cuaca buruk. Namun, kekurangan pangan secara keseluruhan di Korut tetap ada. Bahkan kelompok bantuan internasional telah meninggalkan negara itu selama penguncian pandemi.

Menurut pemimpin redaksi Daily NK, layanan berita yang berbasis di Seoul dengan informan Korut Lee Sang-yong, kurangnya pupuk impor dan bahan pertanian seperti vinil untuk menutupi tanaman telah menyebabkan panen yang kurang dari yang diantisipasi. Lee menuturkan, harga jagung telah meningkat pada masa pandemi sehingga membuat pertanda semakin banyak orang yang mencampur jagung dengan nasi, atau makan jagung sebagai pengganti nasi, yang lebih sulit didapat.

"Ada berbagai macam efek karena pengurangan perdagangan besar-besaran ini," kata direktur Korea Selatan dari organisasi non-pemerintah Liberty di Korut, yang membantu warga Korut bermukim kembali di Selatan, Sokeel Park.

sumber : Reuters/Washington Post
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement