REPUBLIKA.CO.ID, LOS ANGELES -- Meski tak terlalu populer, film dokumenter memiliki nilai tersendiri dibandingkan dengan genre lain. Pada 2021, banyak film dokumenter yang mampu menyampaikan kebenaran dengan sentuhan yang menarik.
Beberapa diantaranya ada yang dikemas dari reportase langsung, hingga diambil dari dokumentasi pribadi. Nah daripada penasaran, berikut lima film dokumenter terbaik versi The Rolling Stone seperti dilansir pada Ahad, (19/12).
1. The Viewing Booth
Sineas Israel Ra'anan Alexandrowicz mengajak mahasiswa Yahudi-Amerika untuk melihat berbagai laporan berita mengenai interaksi antara tentara dan warga Palestina, dan mewawancarainya tentang bagaimana reaksi mereka melihat video itu. Kemudian Alexandrowicz mendokumentasikan hasilnya menjadi film The Viewing Booth.
Film ini menampilkan seorang mahasiswa bernama Maia Levy. Levy, seorang pendukung setia Israel, diperlihatkan video yang menggambarkan kehidupan Palestina di bawah kekuasaan militer Israel di Tepi Barat, menyebabkan dia merenungkan kembali pandangannya tentang konflik Israel-Palestina.
2. The Beatles: Get Back
Remixing epik Peter Jackson dari footage yang diambil selama rekaman Let It Be oleh Fab Four tampaknya akan mengubah perspektif kita terhadap album dan dokumenter tahun 1969 yang bersejarah bagi pecinta The Beatles. Film dokumenter yang tayang selama tiga episode di Disney + itu berhasil memotret sesi rekaman yang berlangsung selama hampir delapan jam ini pada proses kreatif itu sendiri, apalagi secara radikal mengubah pandangan kita tentang periode akhir jelang bubarnya The Beatles.
Memang, ada momen-momen menghancurkan hati. Utamanya ketika George Harrison memutuskan hengkang dari band, dan saat McCartney merasa terlambat untuk memperbaiki keadaan. Pada film ini, Peter Jackson juga memberikan perspektif berbeda tentang Yoko Ono, yang kerap dianggap sebagai dalang di balik berubahnya minat John Lennon pada banyak hal dalam musik The Beatles.
3. Exterminate All the Brutes
Pelajaran penting yang bisa diambil dari film dokumenter arahan Raoul Peck adalah bahwa kolonialisme telah bertanggung jawab atas pergolakan dan penghancuran budaya selama berabad-abad di seluruh dunia. Film ini menggabungkan rekaman arsip, klip film, sketsa animasi, dan rekreasi dramatis yang semuanya dibintangi oleh Josh Hartnett sebagai perwujudan kejahatan imperialistik. Dengan menggunakan kutipan judul Joseph Conrad sebagai titik awal, Peck memperlihatkan bagaimana Eropa menaklukkan masyarakat adat dengan berbagai taktik kotor seperti perdagangan budak transatlantik, penggunaan agama, pemukiman kembali untuk mengacaukan populasi, hingga pembantaian.
Hal ini tidak hanya mungkin untuk menghubungkan titik-titik antara perdagangan budak transatlantik dan pembunuhan penduduk asli Amerika dan Holocaust, film tersebut memberikan perspektif baru tentang bagaimana kebijakan supremasi kulit putih telah begitu lazim dewasa ini.
4. The Velvet Underground
Hanya Todd Haynes yang bisa membuat film dokumenter tentang band rock paling berpengaruh yang tidak pernah mencapai kesuksesan komersial yang signifikan, The Velvet Underground. Hayness kemudian mengabadikan mahakarya grup musik rock tersebut dengan melihat sisi lain mereka selama salah satu pertunjukan Exploding Plastic Inevitable 1966.
Lebih penting lagi, ini memberi Anda pemahaman yang baik tentang lingkungan avant-garde (musik, bioskop, sastra) dan persimpangan pop-to-pop art yang membuat kombinasi awal Lou Reed dan John Cale. Tentu saja ada banyak wawancara dan klip arsip, tetapi semuanya disajikan dengan sentuhan epik dan menarik.
5. Summer of Soul
Ini adalah sebuah film dokumenter Amerika tahun 2021 yang disutradarai oleh Ahmir "Questlove" Thompson tentang Festival Budaya Harlem 1969. Film tersebut ditayangkan perdana di Festival Film Sundance 2021 pada 28 Januari 2021 dan memiliki rilis teater terbatas di Amerika Serikat pada 25 Juni 2021, sebelum diperluas pada 2 Juli 2021 secara teatrikal oleh Searchlight Pictures dan secara digital melalui Hulu.
Ahmir dengan piawai mengembalikan ingatan publik ke Festival Harlem dimana Stevie Wonder yang berusia 19 tahun melompat di depan kibornya sebelum memainkan solo drum yang maniak. Nina Simone mengubah "Backlash Blues" menjadi setara dengan pertandingan tinju.
Sly and Family Stone pada puncaknya, mengingatkan Anda bahwa funk adalah kata benda dan kata kerja. Mahalia Jackson dan Mavis Staples bersama-sama, membawa semua orang ke gereja.
Namun, apa yang Ahmir sampaikan kepada kita jauh lebih penting. Ini adalah tampilan kontekstual pada momen tertentu dalam sejarah Harlem, dalam sejarah Afrika-Amerika, dalam sejarah Amerika yang mengingatkan kita bagaimana musik bertindak sebagai obat untuk kekerasan yang dilembagakan negara, katalis untuk perubahan, sekaligus perayaan.