Rabu 22 Dec 2021 16:14 WIB

AS Larang Pemberian Bantuan Non-Kemanusiaan untuk Korut

Washington menuding Pyongyang terlibat dalam perdagangan manusia.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Teguh Firmansyah
Warga Korut menggarap tanah di luar Pyongyang.
Foto: AP Photo
Warga Korut menggarap tanah di luar Pyongyang.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden melarang pemberian bantuan non-kemanusiaan ke Korea Utara (Korut) untuk tahun fiskal 2022. Washington menuding Pyongyang terlibat dalam perdagangan manusia.

Seperti dilaporkan laman kantor berita Yonhap, dalam memorandum presiden untuk menteri luar negeri, yang diunggah di situs Gedung Putih, Selasa (21/12), Biden mengatakan AS tidak akan memberikan bantuan non-kemanusiaan, yang tidak terkait perdagangan. Ia pun melarang pendanaan untuk partisipasi dalam program pertukaran pendidikan dan budaya oleh para pejabat Korut dan negara-negara lain yang ditunjuk, yakni Rusia, Kuba, Suriah serta Nikaragua.

Baca Juga

Larangan dapat dicabut hanya ketika negara-negara tersebut memenuhi standar minimal di bawah the U.S. Trafficking Victims Protection Act atau melakukan upaya terkait. Pada Juli lalu, Departemen Luar Negeri AS menerbitkan laporan Trafficking in Persons. Dalam laporan itu, Washington menunjuk Korut sebagai salah satu negara yang terlibat dalam perdagangan manusia.

Korut telah tercantum dalam laporan itu selama 19 tahun berturut-turut. AS mengklaim, Pyongyang tak sepenuhnya memenuhi “standar minimum” untuk menghapus praktik perdagangan manusia.

Awal bulan ini, AS memberlakukan sanksi baru terhadap Menteri Pertahanan Korut Ri Yong-gil dan entitas Korut lainnya. Mereka dituduh terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Sanksi itu menimbulkan kekhawatiran Korea Selatan (Korsel). Karena mereka berharap AS dan Korut dapat memulai kembali dialog tentang denuklirisasi.

Belum lama ini, Presiden Korsel Moon Jae-in berharap dapat memulai pembicaraan damai dengan Korut. Menurutnya, secara prinsip, kedua negara sebenarnya sudah sepakat untuk resmi berdamai.

Kendati demikian, Moon tak menyangkal, salah satu tantangan untuk dimulainya pembicaraan tentang kesepakatan damai formal adalah tuntutan Korut. Pyongyang bersikeras, sebelum pembicaraan semacam itu digelar, AS harus terlebih dulu menarik kehadirannya dari Korsel. Washington pun harus mencabut sanksi terhadap Korut.

Menurut Moon, Korut selalu mengajukan tuntutan itu sebelum pembicaraan apa pun. Di sisi lain, AS sebagai sekutu Korsel kerap menegaskan, ia tak akan mencabut sanksi apa pun sebelum Korut meninggalkan program senjata nuklirnya.

“Oleh karena itu, kami tidak bisa duduk untuk berdiskusi atau berunding mengenai deklarasi (damai) tersebut. Kami berharap pembicaraan akan dimulai,” ujar Moon saat berkunjung ke Australia pada 12 Desember lalu.

Moon menekankan, deklarasi akhir perang sendiri bukan tujuan akhir. Namun hal itu akan menjadi langkah penting dalam membuka jalan untuk memulai kembali negosiasi denuklirisasi serta perdamaian di Semenanjung Korea. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement