Senin 03 Jan 2022 09:19 WIB

PM Sudan Abdalla Hamdok Mengundurkan Diri

PM Sudan mundur setelah tentara bubarkan demonstran dan menewaskan dua orang.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Teguh Firmansyah
Perdana Menteri Sudan Abdalla Hamdok.
Foto: EPA-EFE/OMER MESSINGER
Perdana Menteri Sudan Abdalla Hamdok.

REPUBLIKA.CO.ID, KHARTOUM -- Perdana Menteri Sudan Abdalla Hamdok telah mengundurkan diri, di tengah kebuntuan politik menyusul kudeta militer yang menggagalkan transisi pemerintahan menuju demokrasi. Dalam pidato yang disiarkan televisi pada Ahad (2/1) malam, Hamdok, mengatakan, perlu ada diskusi untuk mencapai kesepakatan baru.

Seperti dilansir Aljazirah, Senin (3/1)Hamdok yang merupakan mantan pejabat PBB, dipandang sebagai wajah sipil pemerintah transisi Sudan. Dia diangkat kembali menjadi perdana menteri pada November di tengah tekanan internasional, dalam kesepakatan yang menyerukan kabinet teknokratis independen di bawah pengawasan militer.

Baca Juga

Kesepakatan itu, ditolak oleh gerakan pro-demokrasi. Mereka bersikeras bahwa, kekuasaan harus diserahkan kepada pemerintah sipil sepenuhnya untuk memimpin transisi.

Ribuan orang turun ke jalan-jalan di Khartoum dan kota-kota lain di seluruh negeri untuk mengecam pengambilalihan militer. Mereka juga mengecam kesepakatan pemerintahan yang mengesampingkan gerakan pro-demokrasi. Pengunduran diri Hamdok terjadi setelah pasukan keamanan Sudan membubarkan pengunjuk rasa pro-demokrasi. Pembubaran yang diwarnai kekerasan itu menewaskan sedikitnya dua orang.

Komite Pusat Dokter Sudan (CCSD), yang merupakan bagian dari gerakan pro-demokrasi, pada Ahad mengatakan, salah satu korban tewas dipukul dengan keras di kepalanya saat mengambil bagian dalam pawai protes di Khartoum. Kemudian korban tewas kedua ditembak di dadanya di kota Omdurman.

CCSD mengatakan, puluhan pengunjuk rasa lainnya mengalami luka. Kematian ini membuat jumlah korban tewas di antara pengunjuk rasa sejak kudeta menjadi setidaknya 56 orang.

Para pemimpin sipil dan militer Sudan berada dalam perjanjian pembagian kekuasaan yang rapuh selama dua tahun terakhir. Komandan militer Jenderal Abdel Fattah Burhan memimpin kudeta pasa 25 Oktober lalu, dan bertanggung jawab atas perjanjian pembagian kekuasaan.

Burhan mengatakan, kudeta perlu dilakukan untuk menghindari perang saudara. Dia bersikeras bahwa, Sudan masih bergerak menuju demokrasi dan menggelar pemilihan umum pada 2023.

Kudeta militer merupakan kemunduran bagi Sudan menuju demokrasi. Militer dan pemerintahan sipil telah membagi kekuasaan sejak penguasa Omar al-Bashir digulingkan dua tahun lalu.

Kudeta militer di Sudan memicu kecaman internasional. Bank Dunia dan Amerika Serikat (AS) telah membekukan bantuan pendanaan. Hal ini menjadi pukulan besar bagi Sudan yang sudah terperosok dalam krisis ekonomi. Militer Sudan juga menghadapi tekanan dari Uni Afrika, yang menangguhkan negara itu dari kegiatannya sampai pemulihan otoritas transisi yang dipimpin pemerintahan sipil. 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement