REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR — Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melakukan penelitian terkait pengaruh cahaya malam buatan atau Artificial Light at Night (ALAN) pada wisata malam GLOW, terhadap ekosistem di Kebun Raya Bogor (KRB). Saat ini ada tiga penelitian yang dilakukan oleh BRIN.
Peneliti dari Pusat Riset Konservasi Tumbuhan dan Kebun Raya, Yayan Wahyu Candra Kusuma, mengatakan salah satu penelitian yang dilakukan dan masih akan terus berjalan adalah analisis pengaruh cahaya malam buatan pada fungsi-fungsi ekofisiologi beberapa jenis tumbuhan tropis di KRB.
Penelitian ini dilatarbelakangi pada sebuah teori bahwa cahaya mempunyai peran penting terhadap proses fisiologi dan ekologi pada tumbuhan. Yayan menjelaskan, panjang gelombang cahaya yang dibutuhkan untuk proses fotosintesis pada kisaran 400-700 nm.
Panjang gelombang yang terlalu lemah, dapat menyebabkan proses fotosintesis tidak dapat bekerja secara efisien, sehingga memunculkan gejala etiolasi. “Sedangkan kelebihan cahaya akan menyebabkan fotoinhibisi, menyebabkan kerusakan organ fotosintesis yang membuat tumbuhan kehilangan kapasitas untuk melakukan fotosintesis,” kata Yayan.
Berdasarkan latar belakang itulah, sambung dia, penelitian pengaruh cahaya malam buatsn terhadap fungsi ekofisiologi tumbuhan dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh cahaya malam buatan pada fungsi ekofisiologi beberapa jenis tumbuhan tropis.
“Tujuan lainnya adalah untuk mengetahui pengaruh spektrum atau panjang gelombang cahaya malam buatan terhadap fungsi ekofisiologi tumbuhan tropis. Serta untuk mengetahui intensitas radiasi cahaya malam buatan terhadap fungsi-fungsi ekofisiologi tumbuhan tropis,” sambungnya.
Penelitian lain yang dilakukan periset BRIN yakni Pemodelan Spasial Dampak Cahaya Malam Buatan Terhadap Kesehatan Tumbuhan Menggunakan Unmanned Aerial Vehicle dan Pembelajaran Mesin (Studi Kasus Kebun Raya Bogor). Penelitian ini akan melengkapi hasil penelitian pertama dalam mengukur pengaruh aktivitas manusia terhadap ekosistem di KRB.
Peneliti Pusat Konservasi Tumbuhan dan Kebun Raya, Didit Okta Pribadi, mengatakan terdapat beberapa tujuan penelitian ini yakni, mengidentifikasi area dan tumbuhan yang terpapar cahaya malam buatan baik dari dalam maupun luar kawasan Kebun Raya Bogor.
“Tujuan berikutnya adalah menganalisis dampak cahaya malam buatan terhadap kandungan klorofil dan nitrogen pada daun tumbuhan yang terpapar dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi dampak cahaya malam buatan terhadap tumbuhan,” kata Didit.
Selain itu, ia menambahkan, penelitian ini juga bertujuan membangun model spasial kerentanan tumbuhan terhadap cahaya malam buatan. Penelitian ini dilakukan mulai Desember 2021 dan diharapkan rampung pada Desember 2022.
Studi Pengaruh cahaya malam buatan terhadap komunitas dan populasi serangga di lingkungan KRB juga dilakukan periset BRIN. Penelitian ini dilakukan mengingat kebun raya secara ekologi penting sebagai pusat konservasi tumbuhan dan hewan.
Peneliti Pusat Riset Biologi, Encilia, mengatakan tujuan penelitian ini antara lain menganalisis keanekaragaman jenis dari serangga nokturnal di sekitar dan tanpa cahaya malam buatan.
Tujuan berikutnya adalah untuk pemantauan dinamika perubahan komposisi, keanekaragaman serangga hama (rayap), dan predator terhadap cahaya malam buatan.
Encilia menjelaskan, kawasan KRB mempunyai peran dalam menyeimbangkan ekosistem di dalam maupun di sekitarnya. Selain itu, penelitian ini juga dilatarbelakangi bahwa pengelola KRB harus memastikan terlindunginya keanekaragaman hayati serta jasa lingkungan.
“Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui pengaruh cabaya malsm buatan baik spektrum, intensitas, dan waktu paparan terhadap keanekaragaman dan komunitas serangga,” ujar Encillia.
Plt. Deputi Bidang Infrastruktur Riset dan Inovasi, Yan Rianto, mengatakan kajian dan penelitian ini menjadi bagian penting untuk mendapatkan data yang valid, terkait dampak yang diterima tumbuhan dan hewan di KRB. Data ini nantinya akan dijadikan sebagai acuan nasional, khususnya bagi seluruh pengelola kebun raya di Indonesia.
“Kita membutuhkan data empiris di lapangan, bukan cuma perkiraan melainkan data yang dihasilkan dari pengukuran atau pengamatan, observasi yang tepat, dan bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah,” pungkasnya.