Jumat 07 Jan 2022 16:52 WIB

Protes untuk Kunjungan Pemimpin Otoriter Kamboja ke Myanmar

Hun Sen dikenal sebagai seorang pemimpin otoriter yang berkuasa di Kamboja 36 tahun

Rep: Fergi Nadira/ Red: Nur Aini
Perdana Menteri Kamboja Hun Sen
Foto: EPA-EFE/AN KHOUN SAMAUN
Perdana Menteri Kamboja Hun Sen

REPUBLIKA.CO.ID, NAYPYIDAW -- Perdana Menteri Kamboja Hun Sen pada Jumat (7/1/2022) menjadi pemimpin asing pertama yang berkunjung ke Myanmar menyusul kudeta militer pada Februari 2021. Kedatangan Hun Sen menuai protes dan dinilai berbahaya.

Siaran langsung pada laman Facebook resmi Hun Sen menunjukkan perdana menteri disambut oleh pejabat senior Myanmar di ibu kota Naypityaw pada Jumat pagi. Media pemerintah Myanmar juga menyiarkan kedatangannya.

Baca Juga

Meski banyak didesak untuk tidak mengunjungi Myanmar, Hun Sen bersikukuh sebagai ketua bergilir ASEAN tahun ini untuk datang dalam niat membantu meredakan ketegangan. Hun Sen sendiri dikenal sebagai seorang pemimpin otoriter yang telah memegang kekuasaan selama 36 tahun dan menjaga ketat aktivitas politik di Kamboja. Hun Sen melakukan perjalanan dengan wakil perdana menteri Kamboja Prak Sokhonn, dan menteri luar negeri, dan mengadakan pembicaraan dengan kepala junta Min Aung Hlaing.

Pada Rabu (5/1/2022), Hun Sen menyerukan gencatan senjata dan mendesak semua pihak terkait harus menghentikan kekerasan di Myanmar. Dia pun mengatakan, tidak menetapkan prasyarat apapun sebelum kunjungannya.

"Yang ingin saya sampaikan dalam pembicaraan itu tidak lain adalah lima poin, poin konsensus yang disepakati oleh semua negara anggota ASEAN," katanya pada Rabu malam.

Protes Kedatangan Hun Sen

Kunjungan Hun Sen di wilayah Saigang barat laut itu menuai protes. Amnesty International pun mengutuk perjalanan itu dengan mengatakan perjalanan Hun Sen mungkin lebih berbahaya ketimbang mendatangkan kebaikan.

"Jika Hun Sen benar-benar ingin membantu, dia harus membatalkan perjalanan ini dan memimpin ASEAN ke tindakan tegas untuk mengatasi situasi hak asasi manusia yang mengerikan di negara itu daripada menuruti isyarat kosong," kata Emerlynne Gil dari Amnesty dalam sebuah pernyataan seperti dilansir laman Al Arabiya, Jumat.

Pemerintah Persatuan Nasional, sebuah kelompok oposisi bawah tanah Myanmar dan pemerintahan paralel, juga mendesak Hun Sen untuk menjauh. "Bertemu Min Aung Hlaing, berjabat tangan berlumuran darah. Itu tidak akan diterima," kata Dr. Sasa, juru bicara kelompok yang menggunakan satu nama itu.

Presiden Indonesia Joko Widodo mengatakan, pemimpin Myanmar akan terus tidak diikutsertakan dari pertemuan ASEAN kecuali ada kemajuan. "Jika tidak ada kemajuan signifikan dalam implementasi konsensus lima poin, Myanmar hanya boleh diwakili di tingkat non-politik di pertemuan ASEAN," cicit Jokowi di Twitter setelah berbicara dengan Hun Sen.

Junta membela tindakan kudeta dengan menuduh kecurangan pemilu pada pemilu 2020. Sementara, Aung San Suu Kyi menghadapi serangkaian dakwaan yang bisa membuatnya dipenjara selama beberapa dekade.

Baca: Lebih dari 4.000 Anak Dirawat di Rumah Sakit AS karena Terpapar Covid-19

Kekuatan internasional semakin besar membuat tekanan diplomatik pada militer Myanmar, yang secara resmi disebut Dewan Administrasi Negara. ASEAN telah berusaha untuk melepaskan reputasinya sebagai pihak omong kosong dan mengambil tindakan terhadap Myanmar. Tahun lalu ASEAN menyetujui konsensus lima poin untuk krisis politik di Myanmar.

Baca: Efek Tsunami Covid-19 Varian Omicron Menyapu Eropa

Tak Diizinkan Bertemu Suu Kyi

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement