REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON - Lithuania dilaporkan telah membayar lebih dari 100 ribu dolar AS (Rp 1,6 miliar) sebagai ganti rugi pelanggaran hak salah satu terduga teroris al-Qaeda, Abu Zubaydah. Lithuania diminta membayar karena membiarkan Badan Intelijen Pusat AS (CIA) menyiksanya di penjara Teluk Guantanamo di Kuba yang keberadaannya disebut sebagai situs hitam CIA.
Namun dalam laporan The Guardian yang dilansir laman Middle East Eye, Selasa (11/1/2022), tahanan Abu Zubaydah yang bernama asli Zayn al-Abidin Muhammad Husain tidak dapat menerima dana tersebut. Sebab dia tetap berada di penjara Teluk Guantanamo dan asetnya dibekukan oleh Departemen Keuangan Amerika Serikat (AS).
The Guardian melaporkan bahwa pembayaran 113.500 dolar AS datang lebih dari tiga tahun setelah Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa (ECHR) memerintahkan pemerintah Lithuania untuk membayar kompensasi karena melanggar undang-undang Eropa yang melarang penggunaan penyiksaan. Abu Zubaydah merupakan seorang Palestina yang lahir dan besar di Arab Saudi. Abu Zubaydah ditangkap dalam serangan AS-Pakistan di Faisalabad, Pakistan, pada 2002.
Pada saat penangkapannya, CIA secara terbuka mengeklaim Zubaydah adalah pemimpin al-Qaeda tingkat atas yang memiliki hubungan langsung dengan Osama bin Laden. Namun pada 2006, CIA mengakui bahwa Abu Zubaydah tidak pernah menjadi anggota senior al-Qaeda karena dia tidak pernah menjadi anggota kelompok militan. Meski begitu, dia tetap berada di penjara.
Menurut laporan Komite Intelijen Senat, Abu Zubaydah diinterogasi dengan menggunakan teknik yang sama dengan penyiksaan, termasuk waterboarding (metode penyiksaan dalam interogasi dengan menyiram air sehingga menimbulkan efek seperti tenggelam) 83 kali dalam satu bulan, digantung telanjang dari langit-langit, dan dilarang tidur selama 11 hari berturut-turut.
Selama hampir dua dekade di penangkaran, Abu Zubaydah tidak pernah didakwa atau diadili. Pengacara Abu Zubaydah mengatakan kecil kemungkinan Lithuania akan melakukan pembayaran kompensasi tanpa persetujuan dari Washington.
"Situasinya jauh lebih tidak dapat dikomunikasikan ketika Anda membayar 100 ribu euro kepada seseorang dan seluruh dunia tahu tentang itu," kata Mark Denbeaux, seorang pengacara dari tim hukum Abu Zubaydah yang berbasis di AS.
Pada Februari tahun lalu pemerintahan Biden mengatakan bakal menutup penjara Teluk Guantanamo. Namun hampir setahun kemudian penjara itu tetap terbuka tanpa ada rencana yang diumumkan untuk penutupannya. Akhir bulan lalu, Biden menandatangani Undang-Undang Otorisasi Pertahanan Nasional 2022 (NDAA) menjadi undang-undang yang melarangnya mengambil langkah untuk menutup fasilitas penahanan.
Dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan setelah menandatangani RUU pembelanjaan pertahanan senilai 768 miliar dolar AS, Biden mengkritik bahasa yang termasuk dalam RUU yang menghalangi dia mengirim tahanan ke negara-negara tertentu atau memindahkan mereka ke penjara di tanah AS. Sejak menjabat, hanya satu tahanan yaitu Abdul Latif Nasser, yang telah dibebaskan oleh pemerintahan Biden.