REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti di Pusat Riset Biomaterial Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Hayati Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Sandi Sufiandi menjelaskan, cangkok jantung babi atau organ hewan lainnya ke manusia dikenal sebagai xenotransplantasi. Hal itu memungkinkan untuk dilakukan setelah organ yang akan dicangkokkan menjalani modifikasi secara genetik.
Modifikasi tersebut ditujukan agar jantung hewan bisa diterima oleh sistem imun manusia. Dengan begitu, tidak terjadi penolakan saat organ asing masuk ke tubuh manusia dan jantung hewan pun bisa berfungsi di tubuh manusia.
Sandi menuturkan, pada permukaan sel jantung dari babi terdapat galactose-alpha-1,3-galactose (alpha-Gal). Molekul tersebut tidak terdapat pada tubuh manusia.
"Sehingga ketika dilaksanakan transplantasi, organ yang dicangkokkan tidak akan bertahan karena ditolak oleh sistem imun tubuh," jelas Sandi saat dihubungi Antara di Jakarta, Kamis.
Oleh karenanya, peneliti kemudian memodifikasi gen pada organ jantung babi tersebut. Modifikasi gen yang dilakukan antara lain menghapus tiga gen yang mengurangi risiko penolakan oleh antibodi manusia.
Peneliti kemudian menambahkan enam gen manusia untuk mempromosikan penerimaan organ. Lalu, satu gen pertumbuhan dihilangkan untuk memastikan organ tidak membesar setelah ditransplantasikan.
Sandi mengatakan, kunci sukses dari xenotransplantasi yang dilakukan University of Maryland Medical Center adalah dengan mengatasi permasalahan imun melalui rekayasa genetika. Upaya xenotransplantasi sebelumnya telah gagal karena tubuh pasien dengan cepat menolak organ hewan tersebut.
Pada 1984 lalu, contohnya, Baby Fae yang sekarat hanya hidup selama 24 hari dengan hati babon. Organ yang dicangkokkan kepada Baby Fae tidak menjalani modifikasi genetik seperti yang dilakukan terhadap pasien transplantasi jantung babi di Baltimore, Maryland, Amerika Serikat.
Dokter bedah Bartley P Griffith MD memimpin tim yang berhasil melakukan transplantasi jantung babi yang dimodifikasi secara genetik kepada David Bennett pada Jumat (7/1/2022). Pasien berusia 57 tahun tersebut mengalami penyakit jantung parah.
Operasi tersebut diklaim sukses karena tidak ada penolakan dari tubuh pasien. Keberhasilan itu menjadi yang pertama kalinya dalam ilmu kedokteran.