Jumat 21 Jan 2022 21:43 WIB

CIPS: RI Perlu Diversifikasi Pemasok Kedelai Impor Antisipasi Kenaikan Harga

CIPS menilai Indonesia sumber pasar tambahan selain kedelai Amerika Serikat

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Perajin membuat tempe berbahan baku kedelai impor. Pemerintah dinilai perlu mempertimbangkan opsi untuk diversifikasi pasar impor kedelai untuk memastikan jumlah pasokan dan kestabilan harganya di pasar dalam negeri. Diversifikasi juga penting dilakukan supaya Indonesia tidak tergantung pada satu negara manapun.
Foto: ANTARA/Ari Bowo Sucipto
Perajin membuat tempe berbahan baku kedelai impor. Pemerintah dinilai perlu mempertimbangkan opsi untuk diversifikasi pasar impor kedelai untuk memastikan jumlah pasokan dan kestabilan harganya di pasar dalam negeri. Diversifikasi juga penting dilakukan supaya Indonesia tidak tergantung pada satu negara manapun.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah dinilai perlu mempertimbangkan opsi untuk diversifikasi pasar impor kedelai untuk memastikan jumlah pasokan dan kestabilan harganya di pasar dalam negeri. Diversifikasi juga penting dilakukan supaya Indonesia tidak tergantung pada satu negara manapun.

”Pembelian besar-besaran kedelai AS oleh China dan krisis iklim yang melanda Argentina dan Brazil memengaruhi jumlah pasokan dan kestabilan harga kedelai di Indonesia. Karena pasokan kedelai kita didominasi AS, sangat penting mencari sumber pasar tambahan yang juga mampu memasok kedelai untuk pasar kita,” kataPeneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Aditya Alta, dalam keterangan tertulisnya, Jumat (21/1/2022).

Berdasarkan data World Atlas (dikutip dari databoks Katadata), Brasil merupakan negara penghasil kedelai terbesar di dunia dengan jumlah produksi mencapai 124 juta metrik ton pada 2019-2020.

Posisi kedua ditempati AS dengan produksi sebesar 96,79 juta metrik ton. Negara tetangga Brasil, yaitu Argentina, berada di urutan ketiga dengan 51 juta metrik ton. Adapun China, Paraguay, dan India masing-masing di peringkat keempat, kelima, dan keenam dengan jumlah produksi 18,1 juta metrik ton, 9,9 juta metrik ton dan 9,3 juta metrik ton.

“Indonesia dapat menjajaki kemungkinan untuk membuka hubungan dengan negara eksportir kedelai nontradisional. Tidak tergantungnya kita pada satu negara saja dapat membantu meminimalkan dampak gangguan pasokan dari negara pemasok utama terhadap kestabilan harga kedelai di Tanah Air,” kata Aditya.

Berdasarkan data dari Trademap, lebih dari 90 persen pasokan kedelai Indonesia dipenuhi oleh Amerika Serikat. Terdapat penurunan sumbangan impor kedelai dari Amerika Serikat, dari hampir 99 persen pada tahun 2016, menjadi 90,43 persen pada 2020.

Peringkat kedua pemasok kedelai Indonesia adalah Kanada, dengan proporsi yang jauh lebih kecil namun mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada 2016, Kanada menyumbang 0,33 persen kedelai impor. Nilai ini menjadi 9,28 persen pada 2020. Perkembangan ini menunjukkan diversifikasi mulai terjadi tetapi berlangsung sangat lamban. Secara garis besar impor kedelai masih sangat bergantung pada AS.

Aditya mengatakan, pentingnya kedelai bagi masyarakat Indonesia dapat dilihat dari peningkatan jumlah konsumsi kedelai tiap tahunnya. Berdasarkan data dari USDA, konsumsi kedelai untuk pangan di Indonesia pada 2020 naik sebesar 4,03 persen dari 2,89 juta ton di 2019 menjadi 3,1 juta ton di 2020.

Pemerintah sebenarnya sudah cukup terbuka terhadap impor kedelai. Hal itu dapat dilihat dari tidak adanya tarif pada komoditas yang satu ini.

Tetapi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 45 Tahun 2013 mewajibkan importir terlibat dalam Program Stabilisasi Harga Kedelai. Importir harus membeli kedelai hasil petani lokal sebelum mendapatkan izin impor. Meski tujuannya memastikan terserapnya kedelai lokal, peraturan ini tidak mempersyaratkan mutu hingga kedelai bermutu buruk pun harus diserap importir.

“Peraturan ini tidak membahas dan menyelesaikan permasalahan mengenai mutu, padahal ia merupakan salah satu inti permasalahan kedelai. Peningkatan mutu kedelai domestik juga penting karena berdampak pada daya saing,” tandasnya.

Minimnya penggunaan teknologi dalam budidaya kedelai menyebabkan fasilitas pendukung seperti pengering belum dapat diakses dengan mudah oleh petani. Padahal fasilitas pengering sangat dibutuhkan untuk mengurangi kadar air dalam kedelai.

Penelitian CIPS merekomendasikan kecukupan air sebagai salah satu faktor utama budidaya kedelai karena memengaruhi produktivitas.

Peningkatan luasan areal tanam kedelai di lahan bukan sawah dan perbaikan produktivitasnya juga penting, terutama karena produktivitas di lahan bukan sawah lebih rendah 4,22 kuintal per hektarnya, dibandingkan dengan 17,4 kuintal di lahan sawah.

Intensifikasi untuk meningkatkan produktivitas kedelai di Indonesia, dapat melalui penggunaan bibit unggul yang kini belum banyak digunakan petani. Diperlukan usaha memproduksi dan mendistribusi bibit unggul, termasuk dengan melibatkan swasta.

Penggunaan teknologi dalam budi daya kedelai juga perlu didorong, termasuk melalui kerja sama dengan perusahaan swasta yang memerlukan kedelai sebagai bahan baku. Investasi di fasilitas pendukung seperti pengering harus ditingkatkan sehingga mutu kedelai, terutama kadar airnya, menjadi lebih baik.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement