Rabu 26 Jan 2022 06:35 WIB

Pengungsi Suriah Makin Merana di Musim Dingin

Banyak pengungsi tinggal di tenda yang tidak terlindungi dari badai salju.

Rep: Mabruroh/ Red: Dwi Murdaningsih
file Para pengungsi Suriah di kamp perbatasan dengan Lebanon sangat menderita di musim dingin. ilustrasi
Foto: unicef
file Para pengungsi Suriah di kamp perbatasan dengan Lebanon sangat menderita di musim dingin. ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, DAMASKUS — Seorang anak berusia lima tahun, Intissar dan adik perempuannya Lin meninggal dunia. Ibunya penuh luka bakar. Untuk berlindung dari musim dingin yang pahit di Suriah Utara, mereka menyalakan bahan bakar dari pemanas yang kemudian justru menyulut tenda dan menewaskan mereka.

Banyak keluarga dan anak-anak lainnya tinggal di dekat perbatasan Turki di sebuah kamp dengan lebih dari 400 tenda. Tenda itu tidak dapat melindungi mereka dari badai salju dan penurunan suhu yang melanda dalam beberapa hari terakhir.

Baca Juga

Cuaca dingin juga membawa kekacauan pada lalu lintas dan penerbangan di negara-negara tetangga. Namun, dampaknya paling parah di barat laut Suriah. Di mana 3 juta orang kehilangan tempat tinggal dalam krisis kemanusiaan yang telah berlangsung lama. Banyak di antara mereka yang mengungsi beberapa kali akibat perang 11 tahun.

“Orang-orang di kamp menderita. Tenda tidak melindungi dari dingin,” kata Nouredin al-Abdullah, yang sepupunya Ahmed adalah ayah dari gadis-gadis yang meninggal.

Dia mengatakan hujan salju terakhir adalah yang terberat yang pernah dia lihat. Berat salju telah meruntuhkan banyak tenda, sementara air merembes di bawahnya.

“Di seluruh wilayah, pasokan makanan dan layanan kesehatan telah terganggu dan pekerja bantuan berjuang untuk mencapai sekitar 300 lokasi yang terkena dampak terburuk,” kata Mark Cutts, wakil koordinator kemanusiaan regional PBB untuk Suriah.

“Jumlahnya sangat mengejutkan, dan sangat sulit untuk memberikan semua dukungan yang mereka butuhkan kepada orang-orang,” sambungnya dilansir dari The National News, Rabu (26/1). 

Putus asa untuk tetap hangat, orang-orang membakar kardus dan botol plastik, dan kemudian menghirup asap beracun.

"Bahkan lebih banyak penderitaan disebabkan karena kurangnya bahan bakar untuk pemanas," katanya kepada Reuters, seraya menambahkan bahwa setidaknya satu anak telah meninggal karena kedinginan.

“Ada lebih dari 1 juta orang masih tinggal di tenda atau akomodasi di bawah standar,” kata Cutts. 

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement