Kamis 27 Jan 2022 15:41 WIB

BPET MUI Menilai Perlu Sinergitas Menanggulangi Teroris

Perlu sinergitas dalam penanggulangan terorisme.

Rep: Ali Yusuf/ Red: Muhammad Hafil
BPET MUI Menilai Perlu Sinergitas Menanggulangi Teroris. Foto:  Ilustrasi Terorisme
Foto: Foto : MgRol_92
BPET MUI Menilai Perlu Sinergitas Menanggulangi Teroris. Foto: Ilustrasi Terorisme

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Sekretaris Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme (BPET) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Wachidah Ridwan menilai program deradikalisasi pemerintah melalui Badan Nasional Penanggungalan Teroris (BNPT) tidak cukup. Berdasarkan penelitiannya dari 2002 sampai 2015 ada 1.093 teroris yang ditangkap aparat penegak hukum.

"Itu (data) sebagai bukti bahwa apa sebenarnya yang telah dilakukan oleh pemerintah sebenarnya tidak cukup," kata Wachidah Ridwan saat menjadi pembicara dalam Halaqah Kebangsaan bertempat di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Rabu (26/1/2022).

Baca Juga

Untuk menutupi kekurangan itu, menurutnya, BNPT perlu melibat banyak unsur masyarakat. Terutama ormas-ormas Islam untuk bersinergi mencegah paham-paham-paham yang mengarah ke radikal.

"Betapa pentingnya sinergi antara negara dan non negara," katanya.

Maka dari itu ormas-ormas Islam yang tergabung di MUI perlu dilibatkan oleh BNPT dalam semua program untuk mengurangi paham-paham esktrim. Secara umum setiap masyarakat bisa diajak bersinergi menangkal paham ekstrim ini.

"Itulah kita MUI, Muhamaddiyah, NU, Alwasliyah, siapaun ya semua orang yang ada di sini dilibatkan," ujarnya.

Tentunya, bagaimana kerangka jika negara dan non negara bersinergi, ini perlu dibicaraka. Karena menurut Wachidah, berdasarkan penelitiannya BNPT selama ini tidak pernah ada program tersetrutur.

"Dari tahun 2002 sampai sekarang saya kritik dalam disertasi saya itu belum pernah ada sebuah kegiatan yang sangat terstruktur yang oleh negara dan non negara itu betu-betul dibicarakan bersama bersama," kataya. 

Pemerintah merupakan aktor utama dalam mencegah paham-paham esktrimisme, radikalisme, dan sapartisme. Karena pemerintah telah memiliki alat untuk melakukanya.

"Jadi memang dalam hal-hal yang sifatnya hard power yaitu memang aktor utamanya pemerintah," katanya.

Wachidah memaklumi ketika bom Bali yang terjadi sampai 2015 sampai mendekati tahun 2019, pemerintah sedikit mengesampingkan soft approach dalam penanggulangan terorisme.

Padahal soft approach ini harus menjadi strategi untuk lebih mengedepankan kemanusian. 

 

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement