REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PP Persis) menyoroti pernyataan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) soal ratusan pondok pesantren terafiliasi organisasi teroris.
PP Persis mendesak BNPT melampirkan fakta hukum di mana data dan kriterianya bisa diuji publik.
Wakil Ketua Umum PP Persis, KH Jeje Zaenudin, mengatakan tidak meragukan informasi BNPT soal pesantren terafiliasi organisasi teroris berbasis data. Oleh karenanya, PP Persis meminta agar BNPT menginformasikan lebih lanjut dan membuka data pesantren yang disebut berafiliasi dengan organisasi teroris kepada publik.
"Bisa saja perumusan kriteria pondok pesantren yang didaftar berafiliasi kepada kelompok teroris itu bersifat subjektif dan sepihak. Sehingga memungkinkan bisa diklarifikasi bahkan digugat oleh pihak pondok pesantren tersebut," kata Kiai Jeje melalui pesan tertulis kepada Republika.co.id, Jumat (28/1/2022).
Menurutnya, Indonesia adalah negara hukum. Karenanya, penetapan suatu lembaga pendidikan pesantren divonis sebagai lembaga berafiliasi teroris juga harus dalam kerangka hukum yang objektif, bukan berdasar analisis subjektif.
Kiai Jeje menjelaskan, terorisme termasuk tindak kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime. Menurutnya, pernyataan sepihak tanpa adanya fakta hukum hanya akan menurunkan kinerja penanggulangan terorisme di Indonesia.
"Saya khawatir cara-cara seperti ini akan memperkuat kecurigaan masyarakat tentang adanya upaya mendiskreditkan kelompok Islam tertentu. Yang rugi tentu bukan hanya BNPT, tetapi keseluruhan program negara yang bisa saja jadi gagal menangani masalah terorisme sebenarnya," ujarnya.
PP Persis menekankan, penyebutan sebuah lembaga pesantren berafiliasi dengan teroris harus benar-benar terverifikasi, baik data dan kriterianya. Apa yang dimaksud berafiliasi dengan tindakan teror, apa saja yang telah, akan, atau mungkin terjadi. "Jangan sampai dipahami bias," kata Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat ini.
Kiai Jeje menilai, penetapan suatu lembaga pendidikan berafiliasi pada teroris memiliki konsekuensi sangat besar dan berat yang ditanggung oleh lembaga atau pondok pesantren yang diduga terafiliasi organisasi teroris. Sehingga sangat layak bagi pesantren tertuduh melayangkan gugatan.
"Saya kira laiak jika mereka yang tidak merasa dan tidak menerima tuduhan itu memproses secara hukum, sebab nama baik mereka telah tercemar. Sehingga bisa terbukti di pengadilan benar tidaknya lembaga pondok itu dianggap berafiliasi kepada teroris," ujar Kiai Jeje.
Menuru pendapatnya, menyatakan lembaga pendidikan berafiliasi kepada kelompok teroris tidak semudah membalikkan telapak tangan, harus ada pembuktian hukum yang menguatkan. Jika hanya karena ada satu dua pengajar atau alumninya yang terbukti gabung dengan kelompok teroris, hal itu tidak bisa jadi dasar tuduhan pesantren tersebut berafiliasi kepada teroris.
"Apakah jika ada banyak alumni sebuah lembaga perguruan tinggi yang menjadi aktivis pro komunisme lantas lembaga perguruan tinggi tersebut berhak didaftar sebagai lembaga pendidikan terafiliasi kelompok komunis yang diharamkan di wilayah hukum Indonesia? Atau karena dosen atau alumni suatu lembaga kampus banyak yang korupsi lantas lembaga pendidikan itu dicap sebagai kampus pendidikan koruptor? Tentunya tidak seperti itu," katanya.
BNPT mencatat sedikitnya 198 pondok pesantren terafiliasi dengan sejumlah organisasi teroris, baik dalam dan luar negeri termasuk ISIS. Hal itu disampaikan Kepala BNPT, Komjen Boy Rafli Amar dalam rapat dengan Komisi III DPR pada Selasa (25/1). Namun, Boy tidak mengungkap lebih lanjut terkait identitas atau nama pesantren yang dimaksud.
"Kami menghimpun ponpes yang kami duga terafiliasi dan tentunya ini juga merupakan bagian upaya-upaya dalam konteks intel pencegahan yang kami laksanakan di lapangan," kata Komjen Boy.
BNPT mencatat, dari total 198 pesantren tersebut, 11 Ponpes berafiliasi Jamaah Ansharul Khilafah (JAK), 68 Ponpes terafiliasi Jamaah Islamiyah (JI) dan 119 Ponpes terafiliasi Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan simpatisan ISIS.